Bisnis.com, BANDUNG - Para penggiat film di Kota Bandung yang tergabung dalam Bandung Film Council (BFC) dan Kota Santos, Brazil, berkolaborasi dalam festival film internasional bertajuk Santos-Bandung Film Festival (SBFF). Festival ini siap digelar di Bandung pada 20-22 Oktober dan di Santos pada 26-29 Oktober.
Kedua kota yang didapuk oleh Unesco sebagai Kota Desain Dunia untuk Bandung dan Santos sebagai Kota Film Dunia merupakan program pertukaran film antara sineas-sineas Bandung dan Santos
Direktur SBFF Sofyana Ali Bindiar mengatakan bahwa festival yang baru diselenggarakan pertama kalinya ini diawali dengan adanya komunikasi dalam Unesco Creative Cities Network (UCCN) atau jaringan kota kreatif Unesco.
“Awal mula, Santos ngontak dari jaringan UCCN ngajak kerjasama. Kami coba sambut dan ini jadi ajang festival film internasional pertama yang digarap oleh orang-orang Bandung,” katanya.
Dirinya juga menuturkan, setiap daerah di dunia berlomba-lomba membuat fillm dengan bentuk pergerakan ataupun ekosistemnya masing-masing. Hal ini untuk membingkai gagasan-gagasan yang hadir di sekitarnya, begitu pula dengan Santos dan Bandung.
Tita Larasati, Ketua Komite Ekonomi Kreatif (Ekraf) Kota Bandung, mengatakan bahwa Bandung sudah tergabung dalam jaringan kota dunia yang membuatnya terkoneksi dalam berbagai kesempatan dan peluang.
Tita Larasati menceritakan bahwa dalam forum annual meeting tahun lalu, Bandung cukup outstanding dalam bidang SDG’s (Sustainable Development Goals). Kemudian Santos yang ditunjuk sebagai kota film, sangat tertarik untuk bekerjasama.
Dari situ, Santos, melalui komisi filmnya mengajak bekerja sama untuk membuat sebuah festival.
“Saya tahu di Bandung ada Bandung Film Council, saya langsung arahkan ke BFC,” ujarnya.
Terkait program yang dikemas, Ketua Program SBFF Yustinus Kristianto menjelaskan kedua kota ini ingin melihat film tak hanya menjadi cerminan kota saja, tetapi menjadi cermin itu sendiri.
Menurutnya, film kerap menjadi media yang balutannya cukup kompleks. Bisa dibalut dalam politik, seni, filsafat, dan estetika yang berpadu-padan di dalamnya.
“Melalui pertukaran program film antara Santos-Bandung ini, kita dapat melihat sejauh mana kualitas kota mempengaruhi kota masing-masing. Dan sebaliknya bagaimana film mempengaruhi kota itu sendiri,” tuturnya.
Dalam SBFF ini, film yang dipilih untuk diputarkan adalah film hasil kurasi dari total 119 film pendek yang mendaftar. Setelah dilakukan seleksi oleh tim kurator SBFF, akhirnya dipilih menjadi 15 film dari pelbagai genrefilm.
Koordinator Tim Kurator SBFF Esa Hari Akbar menyatakan film-film dari Bandung yang dipilih dan mewakili dalam Santos Bandung Film Festival (SBFF) 2017 berasal dari pembuat film yang berdomisili, beraktivitas, dan memiliki ikatan emosional di Bandung.
Dia memaparkan Bandung akhirnya menjadi sebuah subyek yang dapat mempengaruhi perspektif dan gagasan bagi para pembuat film dalam melihat suatu fenomena untuk direpresentasikan ke dalam film.
Namun, dalam gelaran festival pertamanya ini, film-film yang berasal dari Kota Bandung dinilai oleh Sofyana Ali Bindiar masih kurang sensitif tentang daerahnya.
"Itu yang menjadi catatan penting bagaimana kita harus dorong film maker kita untuk membuat film yang dekat dengan masyarakatnya sendiri," ujarnya.
Dirinya menjelaskan bahwa dari 15 film yang akan ditayangkan, hanya ada 4 film yang benar-benar berbicara soal Bandung. Sisanya, berbicara lebih universal, tapi film-film tersebut memiliki kekuatan tersendiri untuk memperkenalkan Indonesia.
Sedangkan Santos, sudah lebih peduli dan sensitif dengan apa yang ada di lingkungannya sendiri.
"Dia (film maker Santos) berbicara tentang fenomena yang terjadi di Kota Santos. Itu yang menjadi PR untuk film maker Bandung," ujarnya.