WASHINGTON- Berdasarkan penelitian terbaru The Fed, kondisi moneter Amerika Serikat masih ketat meski bank sentral tersebut menahan suku bunga hingga mendekati nol. Hasil penelitian ini bertentangan dengan pernyataan para pejabat yang menyatakan kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat untuk menaikkan secara cepat sangat akomodatif.
Ekonom senior The Fed San Francisco Fed Vasco Cúrdia menemukan bahwa tingkat suku bunga alami, atau tingkat inflasi, berdasarkan standar historis, ternyata tidak berkaitan erat dengan perkonomian yang memiliki kesempatan kerja penuh dan inflasi yang stabil.
“Karena itu, kondisi moneter tetap relatif ketat meskipun tingkat suku bunga mendekati nol, yang pada gilirannya adalah menjaga kegiatan ekonomi di bawah potensi dan inflasi di bawah target,” kata Cúrdia, Rabu (14/10).
Sebuah simulasi peneliti ekonomi menghasilkan capaian yang konsisten bahwa tingkat suku bunga secara bertahap kembali normal selama beberapa tahun ke depan, meskipun ada ketidakpastian yang cukup besar mengiringi perkiraan ini.
Analisis Cúrdia muncul pada saat kritis di mana para pembuat kebijakan The Fed mempertimbangkan apakah ekonomi negara itu berada pada pijakan yang cukup kuat guna menaikkan suku bunga untuk pertama kalinya sejak 2006. Mereka juga membahas bagaimana meningkatkan suku bunga secara cepat dan Yellen telah berulang kali mengatakan bahwa proses akan dilakukan secara bertahap.
Menurut penelitian Cúrdia, yang menggunakan data dari 1987 hingga kuartal ketiga 2015, titik tengah kisaran perkiraan tentang tingkat bunga alami sekarang minus 2,1%, jauh di bawah rata-rata jangka panjang, yang mendekati positif 2,1%.
“Ada ketidakpastian tentang kedua dinamika jangka pendek serta tingkat apa yang harus diharapkan dalam jangka panjang. Semua pertimbangan ini memperkuat kemungkinan bahwa normalisasi suku bunga akan bertahap,” ujarnya.
Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti mengungkapkan The Fed tidak akan terburu-buru menaikkan suku bunga acuan karena pemulihan ekonomi di Negeri Paman Sam itu ternyata berjalan lambat. Menurutnya, beredar wacana untuk menaikkan The Fed rate pad semester II 2016 bahkan bisa juga pada 2017.
“Selain karena recovery di AS lambat, China masih slowdon sehingga pasti mengupayakan genjot ekspor bisa dengan memberikan stimulus, devaluasi, atau langkah lainnya dan hal ini pasti mengganggu recovery AS sehingga mereka tidak akan cepat-cepat menaikkan suku bunga acuan,” ujarnya.
Dia menambahkan, hal inilah yang menyebabkan mengapa rupiah mengalami kenaikan signifikan sepekan terakhir lantaran para investor menangkap sinyal bahwa tidak akan ada kenaikan bunga dalam waktu dekat, dan mencari emerging market mana yang memiliki growth story yang relatif stabil.
“Indonesia dipilih karena memiliki catatan ekonomi yang baik seperti ekspor semen naik, otomotif juga ada perbaikan. Ya perkiraan kami rupiah akan stabil di angka Rp13.500 di luar sentimen,” ujarnya.(Bloomberg)