Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indra Wijaya Supriadi - Survive dengan Prinsip Prudent

Perjalanan hidup seorang bankir penuh onak dan duri, kadang menanjak, kadang menurun, bahkan terantuk krisis dan tragedi. Namun, perjalanan hidup yang berwarna itu justru membuat Dirut PT Bank Sahabat Sampoerna Indra Wijaya Supriadi tegar dan lebih percaya diri.

Perjalanan hidup seorang bankir penuh onak dan duri, kadang menanjak, kadang menurun, bahkan terantuk krisis dan tragedi. Namun, perjalanan hidup yang berwarna itu justru membuat Dirut PT Bank Sahabat Sampoerna Indra Wijaya Supriadi tegar dan lebih percaya diri. Latar belakang kehidupan ini membuat Indra bercita-cita membawa Bank Sahabat Sampoerna menjadi bank mikro berkelas internasional. Berikut wawancara Bisnis dengan Indra. Bagaimana Anda terdampar di Grup Sampoerna? Selepas kuliah pada 1989-1990 saya langsung bekerja di World Bank Jakarta. Kemudian saya masuk ke dunia perbankan, kebetulan saya di­­panggil Citibank pada posisi management trainee pada 1991, saya bertahan sampai 1997. Dari Citibank saya sempat hijrah ke Bank Tiara, tapi hanya bertahan 9 bulan sampai 1998, pas krisis. Setelah itu saya diminta bergabung ke GE Finance Indonesia, saya menghabiskan waktu di sana tepat 10 tahun, 1998-2008. Pada saat di GE Finance, saat itu exposure ke commercial financing semakin lama semakin kecil, yang dibesarkan adalah corsumer financing. Akhirnya saya switch ke consumer financing. Sampai pada suatu saat, mendengar Grup Sampoerna punya rencana untuk membuat micro finance, saya kebetulan dipanggil dan tertarik dengan konsepnya. Doing good and doing great. Artinya melakukan upaya secara komersial, profitable dan sustainable. Bukan charity ataupun yayasan sosial. Grup Sampoerna mempunyai visi dan misi bisnis dengan tidak mengabaikan tanggung jawab sosialnya yaitu memberda­yakan usaha mikro kecil dan menengah, seperti pedagang kecil dan pe­tani. Bagaimana persepsi dan penga­laman kepemimpinan Anda selama krisis? Awalnya saya memang menyenangi consumer financing, karena tumbuhnya luar biasa tinggi, seperti kredit kendaraan bermotor dan credit card, yang waktu itu tumbuh sangat pesat. Sehabis krisis, ekonomi mulai tumbuh, konsumsi meningkat. Untuk kendaraan bermotor seperti mobil dan motor, misalnya, pertumbuhannya tidak pernah kurang dari 20%. Seiring dengan berjalannya waktu, proses bisnis consumer financing sudah mulai nggak sehat. Saya lihat bisnisnya terlalu keras, sehingga kadang-kadang kami melihat banyak orang-orang yang nggak butuh kartu kredit juga ikut setengah dipaksa untuk buat kartu. Sampai pada akhir­nya, kami lihat banyak nasabah yang berguguran, dan setorannya macet. Beberapa dari mereka itu ya sekretaris dan keluarga saya sendiri. Mereka tertekan, sampai akhirnya sakit keras dan meninggal. Hal yang membuat sedih waktu itu adalah saya tidak bisa menolong karena utang mereka terlalu banyak. Dari situ saya mengambil pelajaran bahwa apa yang saya lakukan harus memberikan manfaat kepada orang lain, bukan malah menzalimi orang lain. Pernahkah Anda mengalami situasi tersulit dalam mengurus perusahaan? Pelajaran yang paling berharga adalah waktu saya 9 bulan di Bank Tiara. Sebelum keluar dari Citibank, saya pernah kursus management risk di Thailand. Saat itu baht mulai go­yang terkena krisis. Saya bertanya kepada profesor yang ngajar di sana, bagaimana nasib Indonesia? Profesor itu bilang, Indonesia tidak akan mengalami guncangan krisis, karena Indonesia adalah good boys. Dulu pernah ada Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), ternyata Indonesia dalam perjalanannya tidak pernah telat bayar utang. Kepemimpinan Soeharto juga kuat, pertumbuhan ekonomi tinggi, currency-nya kuat, dan kurs-nya bagus. Saya masuk ke Bank Tiara saat mengembangkan investment banking. Awalnya transaksi bagus, tapi lama-kelamaan krisis ekonomi mulai dirasakan, sampai akhirnya bank tersebut ikut terkena krisis dan harus didampingi BRI. Keadaan semakin sulit, bunga deposito sampai 67,5%, teman-teman juga mengalami demotivasi, dari hari ke hari kami cuma bisa bertahan. Kami juga tidak bisa mencairkan likuiditas baru karena peraturan sudah ketat. Nah, di situ saya belajar banyak. Pada akhirnya, orang yang bisa survive dan bertahan adalah orang yang memiliki prinsip kehati-hatian (prudent) dan menjaga integritas. Apa yang Anda lakukan dalam menghadapi masa krisis? Saya membuat divisi khusus agar tetap bertahan, menjaga hubungan dengan nasabah, kami selalu mengomunikasikan bahwa kita sedang mengalami masalah, dan masalah ini adalah masalah bersama. Kami juga memberikan pengertian tentang apa yang bisa kami buat dan apa yang bisa lakukan. Krisis pasti menimbulkan kekecewaan, namun dengan komunikasi itu membuat mereka nyaman. Karena investment bank itu dalam prosesnya bersifat sindikasi bank, kami juga datengin bank-bank lain peserta sindikasi. Waktu itu makin banyak teman, karena masalah yang ada, kami jadi semakin sering kumpul, mencari solusi bagaimana agar kita nggak ambruk bareng-bareng. Tapi yang paling penting dari semua itu adalah karyawan, karena semuanya waktu itu sudah nggak fokus. Rerata kegiatan mereka waktu itu jual-beli dolar karena making money luar biasa, bisnis sembako lantaran terjadi kelangkaan sembako luar biasa. Jadi saya mengonsolidasikan teman-teman, mengingatkan bahwa kita adalah karyawan bank, kami harus profesional, harus fokus dengan pekerjaan. Pernahkah Anda mengambil keputusan yang sulit dan dilematis? Saya pikir pada saat itu yang paling berat adalah mau melangkah kemana. Karena politik sangat tidak stabil, ekonomi krisis, kami datang ke kantor nggak jelas mau ngapain. Terjadi ba­­­nyak lay off, banyak berdiri kafe di pinggir jalan, di semua jalan di Ja­­­kar­ta hampir ada kafe. Saya berpikir apakah ini jalan saya atau ada jalan lain? Jadi kalau ditanya yang paling sulit ya saya harus menjawab. Waktu itu, saya nggak tahu harus ke mana melangkah. Sampai pada satu saat, karena hubungan baik yang selalu saya jaga dengan teman-teman, sehingga tawaran itu datang. Ada tawaran bergabung ke GE Finance, jadi saya seperti di-comblangin. Nah, itulah gunanya punya banyak teman. Pernahkah Anda merasa mengambil keputusan yang keliru? Pernah, dua kali. Pertama, saya pernah memiliki suatu otoritas yang tinggi di GE Finance, saya terlalu percaya dengan seseorang, saya tidak mendengarkan kata hati sendiri. Ada satu proposal kredit yang diajukan, kemudian saya setujui. Padahal hati saya mengatakan bahwa harusnya menolak, tapi saya terima. Sampai akhirnya terjadi masalah besar. Meski tidak sampai merusak reputasi, tapi seharusnya itu tidak terjadi. Kedua, ini lebih bersifat pribadi, yaitu tentang karier. Seringkali saya bertanya pada diri sendiri, apakah ini keputusan yang benar atau tidak. Pada saat saya kuliah dulu, teman-teman banyak yang jadi dosen, berkecimpung di dunia pendidikan dan riset. Mereka banyak menemukan jalan hidup yang bagus karena memberikan kontribusi yang baik untuk negara dan masyarakat. Pada 1991, saya memutuskan masuk ke Citibank, akhirnya dunia akademik saya tinggalkan, sampai beasiswa S2 ke Australian National University saya drop. Tapi kadang saya suka bertanya lagi, apa benar jalan hidup yang saya ambil? Apa keputusan monumental yang pernah Anda ambil ? Pada 2008 owner [Grup Sampoerna] akan mengakuisisi Bank Dipo Internasional, kebetulan terjadi krisis subprime mortgage yang sampai membuat Lehman Brothers jatuh. Akhir­­nya owner menunda membeli bank. Padahal  niat membeli Bank Dipo adalah untuk bisa masuk ke micro finance, tapi sempat diputuskan meng­­­urusi koperasi saja. Melihat ge­­lagat krisis, satu-satunya jalan ya di-plot ke micro finance, membuat koperasi untuk start up saja. Koperasi umumnya tidak akan memberi benefit lebih besar dari bank, kalau bikin kartu nama mau tulisnya apa, jelasin pada istri bagaimana. Sampai muncul ide membuat credit union. Mengapa saya bilang itu monumental, karena bagaimana kita bisa menarik orang-orang kaliber tinggi dengan platform koperasi, walaupun Grup Sampoerna tapi nama Sampoerna nggak boleh dipakai waktu itu. Sebab kalau dipakai, nasabah nggak mau bayar, disangkanya kami banyak duit. Jadi intinya nggak gampang. Menarik orang itu nggak mudah. Bagaimana perkembangan bisnis koperasi? Waktu itu awalnya 11 orang, mulai menarik lebih banyak orang lagi menjadi 20 orang yang levelnya senior. Padahal platform kita udah nggak keren, koperasi. Tapi yang jadi pekerjaan beratnya adalah meyakinkan pemegang saham. Kami bilang mau bikin koperasi, dengan alasan close to community, mudah secara perizinan, legalnya pas dengan micro finance. Dengan alasan itu pun juga tidak mudah, karena yang namanya ko­­perasi kan one man one vote, tidak bisa dikontrol langsung oleh pemegang saham. Dalam koperasi, owner adalah member itu sendiri. Jadi dari sisi legal menjadi suatu tantangan. Alasan lain, bahwa koperasi sepanjang sejarah belum ada yang bisa mencapai level konglomerasi. Ada mungkin yang besar yaitu Revision Bank yang umurnya sudah ratusan tahun, tapi saya juga tidak tahu apa­kah itu koperasi murni atau bukan. Lalu saya cari cara untuk meyakinkan pemegang saham, ternyata dengan berjalannya waktu kami bisa yakinkan dan buktikan. Kami berpikir, bisa nggak kira-kira bikin kope­rasi yang disandingkan dengan bank, jadi yang kami pikirkan adalah bagaimana orang bisa lebih bangga bekerja di koperasi dibandingkan dengan di bank. Mungkin itu isapan jempol saja. Tapi dari waktu yang berjalan, ternyata itu kejadian sekarang. Saya merasa nggak ada bedanya orang kerja di Bank Sahabat Sampoerna dengan di Sahabat UKM. Bisa ceritakan pengalaman pahit Anda terkena bom Mariott? Pada 5 Agustus 2003 saya dan senior management menghadiri workshop sehari tentang controllership di Hotel JW Marriott. Waktu makan siang hampir selesai, di coffee shop di Restoran Syailendra, meledaklah bom itu. Sekitar 20 lebih teman kami terluka dan langsung dibawa ke rumah sakit, ada yang hari itu juga dibawa ke Singa­pura. Saya terkena luka bakar stadium tiga di bagian lengan kiri. Bagaimana Anda membagi waktu dengan keluarga? Saya membaca tentang kisah orang sukses. Kebanyakan dari mereka punya waktu yang sangat ketat. Saya mencoba sebisa mungkin menyediakan waktu buat keluarga. Kalau saya olah raga biasanya weekend. Saya berangkat sebelum mereka ba­­­ngun, jadi ketika mereka bangun saya sudah selesai olah raga dan berkumpul bersama mereka. Saya juga membagi waktu untuk diri saya sendiri. ada beberapa waktu yang memang tidak bisa diganggu gugat untuk saya melakukan aktivitas sendiri. Siapa idola Anda? Kalau dari sisi kepemimpinan, saya kagum dengan Pak Ali Sadikin, kebe­raniannya dalam mengambil keputusan cukup positif, apalagi di tengah-tengah kontroversi yang ada. Kedua orang itu yang sering memengaruhi gaya kepemimpinan saya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ajijah
Editor : Ajijah
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper