Oleh Hendri T. Asworo & Hery Trianto Perjalanan karier Jahja Setiaatmadja sebagai Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) cukup cemerlang, meski pun cita-citanya sebagai dokter gigi kandas begitu saja setelah lulus sekolah menengah tingkat atas. Namun, dalam pengakuannya ternyata ada keputusan bisnis yang pernah dianggapnya sebagai kekeliruan, kendati putusan yang diambil tersebut bersifat kolektif dan bukan individual. Kepada Bisnis, dia menceritakan bagaimana prinsip hidup yang dianutnya hingga bagaimana strategi mengembangkan bank yang sekarang dipimpinnya. Berikut petikan wawancaranya: Bisakah dijelaskan perkembangan kinerja BCA? BCA selama ini selalu concern pada tabungan. Intinya, janganlah masyarakat menyimpan dananya di bawah bantal, tetapi masukkanlah ke tabungan. Oleh karena itu, dalam beberapa tahun ini, BCA memberikan kemudahan kepada nasabah dalam menarik dananya lewat ATM, karena kalau datang ke cabang kan tidak selalu mudah. Memang pada mulanya ada beberapa kepala cabang dan kepala wilayah yang waktu itu berpikiran bahwa dengan kemudahan menarik dana via ATM, akan berakibat pada menurunnya jumlah dana pihak ketiga (DPK). Akan tetapi, manajemen terus berupaya meyakinkan, semakin mudah mengambil maka semakin banyak pula DPK yang ditempatkan. Sejak itu kami agresif mengembangkan ATM. Ketika itu, pada 1990-1994, mendidik nasabah dalam menggunakan ATM tidaklah mudah dan membutuhkan proses lama. Dengan adanya ATM ini, kemudian kami mulai perkenalkan kartu debit pada 1998. Saat itu, penerbitan credit card sedang di bekukan karena krisis, padahal orang sudah terbiasa ke restoran pakai kartu kredit. Dalam hal ini BCA termasuk pionir. Bank Dharmala adalah yang pertama, akan tetapi kami lebih agresif. Akhirnya masyarakat mulai terbiasa menggunakan debit card. Kami tidak nge-link operator, sehingga bisa memberikan free of charge [tak mengenakan biaya]. Kemudian dalam berjalannya waktu, kami melihat teknologi semakin maju. Internet semakin ba nyak dipakai sehingga transaksi via Internet mulai dibutuhkan. Kemudian kami lanjutkan dengan pengembangan mobile banking sehingga nasabah bisa transaksi via handphone. Kami berupaya menerapkan system transaksi yang user friendly. Pengembangan terakhir, transaksi perbankan bisa dilakukan dari smartphone. Semua sistem transaksi itu telah mengubah paradigma nasabah dalam menabung dan bertransaksi. Sekarang orang tak lagi terlalu memperhitungkan bunga yang didapat dari tabungan. Saat ini, komposisi DPK di BCA sekitar 78% dari giro dan tabungan. Dengan semua usaha itu, sekarang kami memiliki jumlah nasabah sekitar 9 juta orang, atau setara dengan jumlah penduduk Jakarta. Ada juga nasabah prioritas sekitar 110.000 orang. BCA pernah mengalami krisis likuiditas, bagaimana mengatasinya ketika itu? Pada intinya yang paling penting bagi kami adalah menjalin kerja sama yang baik di tingkat manajamen, misalnya, bagaimana memobilisasi kebersamaan ketika ada tekanan finansial apalagi krisis ekonomi seperti 1998. Oleh karena itu, teamwork itu menjadi hal sangat penting. Teamwork yang baik bisa terwujud jika berasal dari dalam. Dalam hal ini kami berupaya menciptakan kultur dari dalam lewat apa yang disebut bank development program. Itu bagus dipersiapkan untuk ke depannya. Itulah sebabnya jarang kami mengambil staf dari bank lain. Mengapa tidak mengambil pegawai dari bank lain? Kalau dari luar, kulturnya beda. Tapi bu kan berarti sama sekali tak ada. Apa lagi kadangkala untuk sesuatu jabatan tertentu dibutuhkan orang dari dalam terutama tenaga spesialis, misal, analis kredit tetapi jumlahnya sedikit sekali. Dalam 1-2 tahun ke depan adakah rencana aksi korporasi besar di BCA? Konsep bisnis BCA berjalan bagus dengan liabilitas kuat. Tinggal mengembangkan aset, dan new bussines. Dalam hal aset, kami kembangkan pinjaman dengan mitigasi risiko. BCA memiliki keuntungan berupa biaya dana murah sehingga bisa memberikan bunga kredit murah. Itu mengurangi risiko. Jadi sekarang, jika orang memiliki kebutuhan rumah, silakan datang ke BCA. Yang senantiasa kami jaga adalah kualitas dan harga yang kompetitif. Selain itu, BCA tak ngoyo nyari bisnis. Kami membuat related payment. Kredit mobil, motor dan general insurance ini semua kan menyangkut pembayaran. BCA menyediakan itu semua [memiliki asuransi dan perusahaan pembiayaan]. Kami baru saja menambah modal untuk insurance company. Adakah rencana membeli atau mendirikan asuransi jiwa? Satu saat pasti ada. Kami akan ke sana. Namun, tentu akan kami lihat dulu, yang penting mendukung peningkatan cross selling. Pernahkah Anda mengalami situasi sulit dan dilematis? Ya, pada 1998. Namun, itu lebih terkait dengan faktor rush politis, bukan karena faktor BCA-nya. Sedikit flashback, pada November 1997 ada sebanyak 16 bank yang ditutup. Waktu itu belum ada program penjaminan. Pada saat itu terjadi isu politis terkait dengan BCA, sehingga dana nasabah ditarik untuk dipindahkan. Ini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga sekaligus. Seperti digebukin. Ini menjadi kondisi yang luar biasa sulit dan dilematis serta sangat berat sekali terutama soal bagaimana menyediakan logistik dan uang tunai dalam jumlah besar. Saya tidak ingat berapa dana yang ditarik saat itu. Yang pasti puluhan triliun. Namun, nasabah BCA juga ada yang tetap loyal. Mereka datang bawa uang tunai dan menyimpan di BCA. Inilah loyalitas nasabah. Kalau keputusan dilematis, biasanya terkait dengan memberhentikan pegawai. Misal, ada pegawai yang sebelumnya berprestasi baik, akan tetapi karena melakukan kesalahan fatal ya terpaksa dikeluarkan. Kalau terkait masalah integritas, kami kan harus tegas meskipun kadang berat dan dilematis. Pernahkah Anda mengambil keputusan yang keliru? Keputusan semacam itu tentu bukan bersifat pribadi. Itu bersifat kolektif satu tim. Menurut saya, saat menutup salah satu cabang di luar negeri itu bisa dibilang sebuah kesalahan. Dulu, kami memiliki overseas branch, khususnya di China dan Amerika Serikat. Saat dilakukan penutupan cabang di AS itu sudah benar. Namun, kami pernah punya cabang Fujian, China yang kemudian ditutup karena sebagai bank asing, BCA tidak boleh bertransaksi renminbi dan me mang kondisinya kurang menguntungkan. Akhirnya, kami menutup BCA Fujian pada 2001. Padahal sekarang membuka cabang bank di China susah sekali, seperti dialami Bank Mandiri. Itu [keberhasilan Mandiri membuka cabang di Shanghai] bisa dilakukan berkat adanya dukungan pemerintah. Waktu itu, BCA Fujian berstatus full branch. Hanya saja tak boleh transaksi remimbi. Penutupan ini yang sekarang kami sayangkan. Apakah Anda mempersiapkan kader pemimpin di perusahaan? Ya, itu harus. Jabatan selalu harus ada penggantinya. Yang penting gimana menyiapkan kandidat dengan baik. Pak [Djohan Emir] Setijoso [mantan Presdir BCA, kini Komisaris Utama] juga menyiapkan saya bukan 1-2 tahun, akan tetapi lebih dari 3 tahun. Kalau saya ditanya apakah telah menyiapkan sekarang? Ya belum lah. Bagaimana cara Anda memotivasi karyawan? Sekarang BCA memiliki 20.000 karyawan. Untuk perbankan, memang sudah mestinya berlaku hukum pokok yakni memberikan layanan terbaik. Jadi, apa pun caranya kita harus terus memotivasi karyawan agar mam pu melayani dengan sebaik-baik nya. Bagaimana Anda nanti mempersiapkan masa pensiun? Belumlah, sekarang belum terpikir. Ini kan baru diangkat. Akan tetapi, prinsip saya ya enjoy life. Bagaimana kita senang tetapi orang lain juga senang. Istri saya, misalnya, suka aktivitas sosial mengurusi panti asuhan anak yatim dan panti werda. Ini baru rintisan kecil. Nggak profitable. Anda sangat sibuk kerja, apakah keluarga tidak protes? Ya, kalau protes saya bilang, sopir saja datang lebih pagi dan pulang lebih malam. Namun, untunglah selama ini mereka bisa dimengerti. Siapa tokoh idola Anda? Nggak tahu. Terus terang saya tidak punya tokoh idola. Saya hanya ambil positif dari setiap orang. Saya punya sifat bertolak belakang jika dibandingkan dengan ayah saya yang introvert (pendiam) dan saya nggak mau begitu karenanya saya bersosialisasi. Namun, ada beberapa hal dari ayah yang saya tiru seperti keseriusan dalam bekerja. Jadi, tiap hal harus diambil yang baiknya. Apa cita-cita Anda saat kecil dulu? Waktu SMA saya pernah ingin menjadi dokter gigi. Ayah kerja di Bank Indonesia tetapi bukan sebagai pejabat, hanya kepala kasir. Beliau Tanya berapa biaya masuk fakultas kedokteran? Terus kalau sudah lulus siapa yang mau membelikan alat kedokteran untuk buka praktik? De ngan pertanyaan- pertanyaan itu, akhir nya saya memilih masuk Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Jurusan Akuntansi. Adakah obsesi Anda yang belum tercapai? Terus terang waktu bekerja di Kalbe Farma saya ingin menjadi manajer, akan tetapi malah menjadi direktur keuangan. Pada 1990, di BCA juga dijanjikan jabatan sebagai kepala divisi dalam 5 tahun, karena waktu itu kepercayaan Om Liem paling tinggi hanya sebagai kepala divisi. Hal ini karena jabatan direktur di anggap sangat strategis dan diisi dari keluarga Cendana. Kalau nggak darah biru nggak boleh naik jadi direksi. Oleh karena itu, ketika saya diangkat menjadi direktur dan presiden direktur, itu jauh melebihi ekspektasi saya.
Jahja Setiaadmadja : Prinsip saya enjoy life
Oleh Hendri T. Asworo & Hery Trianto
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
1 jam yang lalu
Hasil Nyata Ekosistem Pembiayaan Peternak Domba dari OJK
2 hari yang lalu