Bien Subiantoro (istimewa) Oleh Roberto Purba, Hilman Hidayat & Hery Trianto Saat muda, Bien Subiantoro pernah punya mimpi menjadi Kepala Cabang Blitar PT Bank Negara Indonesia Tbk. Namun, perjalanan kariernya justru membawanya menjadi salah satu direktur di bank tersebut. Kini, setelah sempat terpikir untuk pensiun sebagai bankir selepas dari BNI, Bien malah ditawari mengisi posisi direktur utama PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat Banten Tbk (BJB). Kepada Bisnis, alumnus Institut Teknlologi Bandung tersebut mengutarakan strategi bisnis Bank BJB serta membeberkan pengalamannya selama berkarier sebagai bankir. Berikut petikan wawancaranya: Bisakah Anda ceritakan pengalaman memimpin di BJB? Menjadi direksi bukan pengalaman pertama saya. Sebelumnya, saya sempat beberapa kali kerja di perusahaan, seperti Astra International selama 2 tahun. Setelah itu menjadi bankir di Bank Pembangunan Indonesia [Bapindo] cukup lama sebelum merger menjadi Bank Mandiri. Ketika merger empat bank berlangsung, lingkungan saya menjadi serba baru, karena banyak teman dan atasan baru. Dinamika dalam perusahaan begitu tinggi. Saya menjadi bankir Bapindo pertama yang masuk ke Bank Mandiri, yang secara otomatis mengharuskan bergaul dengan orangorang baru. Setelah 5 tahun, kemudian pindah ke BNI hingga menjabat direksi di bank tersebut selama dua periode. Dari BNI inilah kemudian masuk ke Bank BJB. Sebenarnya, menjadi direksi bank itu sudah tersaring, karena harus melalui proses uji kepatutan dan kelayakan. Hal tersebut yang pada akhirnya melahirkan istilah 4L, yakni lu lagi, lu lagi...hahahahah Apakah Anda pernah menghadapi masa-masa sulit? Pasti pernah menghadapi masa sulit, seperti ketika saya menjabat sebagai Group Corporate Banking Bank Mandiri. Ketika itu ada permasalahan hukum yang harus diselesaikan dengan baik. Di Bank Mandiri saat itu banyak debitur kelas kakap yang aneh-aneh. Saya mencoba menyelesaikan masalah secara lugas dengan mengutamakan kepentingan Bank Mandiri. Intinya, harus tetap profesional. Pernahkah Anda mengambil keputusan yang keliru? Ya, pernah. Justru saya belajar banyak dari kejadian tersebut. Keputusan keliru tersebut dalam artian mengambil kebijakan keliru. Saya ikut merasa bersalah pada waktu Unit Layanan Mikro BNI dibubarkan. Ketika itu, ada masalah terkait dengan letter of credit [L/C] dan di unit mikro, seperti banyak angsuran nasabah dikantongi sendiri. Hal tersebut terjadi karena BNI belum menerapkan sistem sentralisasi. Untuk pengurusan L/C saat itu masih ditangani masing-masing cabang. Akibatnya konsolidasi data menjadi sulit. Masalah juga terjadi untuk unit la yanan mikro. Saya kemudian bilang ke board of directors risiko operasional bisnis ini besar, tetapi rekomendasinya salah. Harusnya unit mikro tidak ditutup. Nah, setelah saya menjabat direktur UKM dan Syariah, saya bayar kekeliruan itu dengan membentuk unit kredit kecil, yang prinsipnya memberikan kredit mikro juga. Pernahkah Anda menghadapi situasi pengambilan keputusan yang dilematis? Keputusan dilematis atau yang sulit, misalnya, ketika akan memecat karyawan. Di satu sisi sebagai pemimpin harus tegas, tetapi di sisi lain ada pertimbangan kemanusiaan. Namun, intinya keputusan tetap harus dilakukan secara profesional. Misalnya, ketika ada kesalahan terutama yang terkait fraud, saya harus mengambil keputusan berupa pemecatan. Sebab, ketika kita ingin tumbuh besar, organisasi harus terbebas dari penyakit kanker semacam tindakan fraud. Adakah keputusan paling monumental yang pernah Anda ambil? Keputusan monumental biasanya lahir ketika kondisi organisasi sedang kurang baik. Ketika saya masuk BNI, bank ini baru saja mengalami pembobolan L/C Rp1,7 triliun. Berbekal pengalaman di Bank Mandiri, saya merasa ada pola yang harus dilakukan di BNI. Saya melihat masalah pertama dari faktor manusianya, seperti siapa yang ambil keputusan. Setelah itu baru melihat teknologi informasinya. Dulu, BNI pernah bermasalah karena kewenangan cabang yang tidak terbatas, termasuk dalam hal L/C. Ketika itu, keputusan pertama yang kami ambil adalah menarik kewenangan cabang dan memperbaiki sistem teknologi informasi. Seluruh transaksi yang terkait dengan trade finance menjadi tersentralisasi. Terakhir, transaksi perdagangan internasional di BNI ditangani oleh divisi trade finance. Akhirnya bisnis trade finance BNI menjadi yang terbesar di Indonesia, dengan angka volume transaksi menembus US$10 miliar saat saya meninggalkan bank itu. Apa saja rencana kerja Anda di Bank BJB? Aset Bank BJB saat ini dua kali lebih besar dibandingkan dengan bank pembangunan daerah [BPD] lain yang menempati peringkat kedua. Hal yang terpenting, pemegang saham bank ini punya visi mengembangkan perusahaan dengan prinsip good corporate governance. Komitmen pemegang saham sangat besar, terbukti dengan menyetujui Bank BJB melantai di Bursa Efek Indonesia. Hal tersebut menjadi motivasi buat saya untuk terus mengembangkan bank ini. Aset Bank BJB kini sudah mendekati Rp50 triliun. Pesaing kami adalah bank swasta dengan aset Rp50 triliun ke atas. Untuk memacu kinerja, branding harus kuat. Kami berambisi, setiap 1 tahun kami harus melewati satu bank. Bagaimana Anda memersepsikan pelanggan dan pesaing? Perusahaan itu hidup dari pelanggan, sehingga itu menjadi aset terpenting. Kami harus mengetahui customer base, demografi customer, sehingga pelayanan menjadi lebih baik. Misalnya, ketika banyak nasabah dari kalangan ibu-ibu, bank harus tahu apa kesukaannya. Apabila segmennya masyarakat kelas atas, kita juga harus tahu bagaimana melayaninya. Begitu pula apabila mayoritas nasabahnya kalangan pegawai negeri sipil. Di Bank BJB, mayoritas nasabahnya adalah pegawai negeri sipil, sehingga kami harus membangun prioritas. Hampir 70% kredit konsumer Bank BJB tersalurkan kepada PNS, sehingga produk tersebut menjadi unggulan kami. kami. Namun begitu, kami juga harus mengembangkan bisnis lainnya, seperti pembiayaan untuk korporasi, komersial, dan mikro. Pembiayaan konsumer dan produktif harus seimbang. Bank BJB juga memiliki nasabah kelas menengah ke atas yang relatif besar. Kami sudah punya cabang di luar Provinsi Jabar dan Banten. Artinya, kami harus menggencarkan branding agar Bank BJB naik level. Menurut Anda, apa yang membedakan Bank BJB dengan bank pembangunan daerah lain? Saya mengapresiasi manajemen Bank BJB sebelumnya, karena bisa membangun bank ini. Mereka punya visi mengembangkan Bank BJB menjadi bank besar, misalnya, terlihat dari keberanian manajemen membuka jaringan untuk bersaing. Pemegang saham memutuskan untuk go public untuk membangun nilai GCG dan profesional. Siapa orang yang berperan dalam karier Anda? Guru saya banyak, seperti I Wayan Pugeg [mantan Direktur Bank Mandiri] dan Agus Martowardojo [sekarang Menteri Keuangan]. Dengan Pak Agus, saya banyak bekerja sama saat beliau menjadi ketua tim merger Bank Mandiri, di mana saya jadi sekretarisnya. Dari kedua orang ini banyak mendapatkan pandangan agar menjadi bankir profesional. Misalnya, dengan pak Agus, saya dapat pelajaran bagaimana harus bersikap. Kalau dari keluarga, almarhum ayah banyak memberikan pedoman hidup. Saya diminta agar jangan banyak berutang budi kepada orang lain. Ini sebuah falsafah hidup yang mangajarkan saya bahwa bekerja itu harus independen. Bagaimana Anda melakukan kaderisasi? Kaderisiasi itu penting karena organisasi harus terus berjalan. Terutama dalam hal edukasi dan tanggung jawab. Saya juga melakukan kaderirasi, seperti ketika masih di BNI. Di BJB saya juga akan melakukan hal serupa dan sudah disiapkan. Saya menyaring orang yang memiliki jiwa kepemimpinan kuat. Perlu waktu minimal 6 bulan untuk melihat dan menyiapkan kaderisasi. Bagaimana cara Anda memotivasi karyawan? Hal terpenting adalah membangun komunikasi. Organisasi itu tujuannya untuk memajukan, sehingga perlu ada komunikasi yang intensif. Saya selalu berkomunikasi dengan bawahan termasuk melalui SMS atau layanan pesan Blackberry. Melalui sarana komunikasi tersebut, saya banyak mendapat pandangan dari karyawan, mulai dari hal yang sederhana. Apa yang Anda lakukan saat pensiun nanti? Sebenarnya, setelah selesai di BNI, saya menganggap my job is done. Saya tadinya mau enjoy my life, karena sudah punya bisnis sendiri di bidang telekomunikasi yang terkait dengan payment. Ketika pemegang saham Bank BJB menawarkan posisi dirut, saya tidak langsung terima. Butuh waktu kira-kira 2 bulan sebelum menerima tawaran itu, apalagi sejumlah bank juga menawarkan posisi yang sama.
Bien Subiantoro: Aset terpenting adalah pelanggan
Bien Subiantoro (istimewa) Oleh Roberto Purba, Hilman Hidayat & Hery Trianto
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
2 jam yang lalu
Taruhan Besar di Saham Adaro Minerals (ADMR)
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
3 hari yang lalu
OJK Gandeng FSS Korea Tingkatkan Pengawasan Sektor Keuangan
3 jam yang lalu