Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menuju era 'One Billion Dolar' company

Oleh: ARIEF BUDISUSILO
Arief budisusilo
Arief budisusilo

Oleh: ARIEF BUDISUSILO [caption id="attachment_38640" align="alignleft" width="232" caption="Arief budisusilo"][/caption] Melupakan sejenak kisah Melinda Dee yang kini begitu terkenal karena uang Rp17 miliar itu. Tanpa perlu menjadi Melinda Dee, Anda pun menikmati musim bonus, panen dividen, dan bagi-bagi tantiem. Itulah barangkali yang Anda akan rasakan beberapa bulan ke de­­pan, atau barangkali sudah untuk sebagian. Bahkan sebelum ini pun, se­­orang sahabat yang mantan pe­­ga­wai bank, dan kini banyak meng­ajar para bankir junior ten­­­­tang marketing dan pentingnya servi­ces excellence, mengi­rimkan pesan broadcast seputar rasa syukur menerima bonus itu. “Selamat ya…hari ini banyak teman yang menerima berkat khusus selain gaji bulan Maret, yaitu bonus prestasi, bonus tahunan dan jasa produksi.” Itu broadcast pesan yang disampaikan tepat pada 25 Maret silam. Mungkin karena mantan pe­­ker­ja bank, sahabat ini paham betul setiap tanggal 25 Maret saatnya menerima “hasil ke­­ri­ngat” lebih. Apalagi, banyak perusahaan membukukan kinerja yang kinclong pada tahun lalu. Tentu, sebagian kinerja itu dikembalikan kepada para karyawan, dan tentu saja manajemen selain pemilik perusahaan, dalam bentuk bonus, tantiem, dan dividen. Itu pula yang terkonfirmasi dari “pekan laporan keuangan” 2010, yang dipublikasikan melalui media di Indonesia hingga 31 Maret ini. Hampir semua publikasi laporan keuangan menyala hijau, kecuali yang memang sedang mengalami masalah. Artinya, dapat dikatakan perusahaan-perusahaan di Indonesia umumnya semakin profitable, dan mampu menjalankan usaha dengan produktivitas yang tinggi, sekaligus menghasilkan pendapatan yang tinggi disertai pengelolaan biaya secara efisien. Tolong dicatat, efisien bukan berarti irit atau pelit. Efisien adalah kesanggupan mengelola biaya tepat sasaran dan tepat manfaat, yang mampu menghasilkan produktivitas yang se­­padan bahkan bersifat multiplikasi. *** Bonus, dividen, tantiem atau apa pun namanya, tentu tidak datang dari langit. Bukan pula buah spekulasi, misalnya coba-coba main saham asal-asalan, karena bisa-bisa akan terbakar sendiri. Anda tentu percaya bahwa yang disebut “bonus” dari pekerjaan datang dari integritas, kerja keras, dedikasi, dan produktivitas. Kalaupun Anda “beruntung” karena investasi di saham (saya menggunakan istilah beruntung, bukan “menang” di saham se­­perti kebanyakan investor ritel kita), tentu karena perhitungan dan kecermatan memilih emiten yang memiliki prospek memberikan keuntungan. Tentu, kecermatan memelototi satu demi satu perusahaan yang bisa memberikan keuntungan dalam jangka panjang dari divi­den saham menjadi penentu ke­­be­runtungan Anda, bukan sekadar nasib baik semata. Maka pekan ini menjadi begitu menarik, karena sebagian besar perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek Indonesia mampu membukukan keuntungan yang signifikan sepanjang tahun lalu, me­­rujuk laporan keuangan yang dipublikasikan. Sebut saja nama bank-bank papan atas di Indonesia, yang rata-rata membukukan kenaikan laba bersih di atas 10% setahun. Barangkali Pak Musataf Abubakar, menteri BUMN, menjadi salah satu pejabat yang senantiasa menyunggingkan senyuman hari-hari ini. Betapa tidak. Dari empat bank BUMN saja, mereka berhasil membukukan laba bersih hingga Rp25,95 triliun, yang barangkali tercatat menjadi yang terbesar dalam sejarah bank BUMN di Indonesia. Itu baru dari perusahaan BUMN perbankan, yang sahamnya diperdagangkan di lantai bursa. Belum lagi laba bersih Pertamina, misalnya, hampir dapat dipastikan bakal melampaui Rp20 triliun tahun lalu. Di luar perusahaan pelat merah, perusahaan setengah BUMN yang sebagian sahamnya dimiliki swasta pun juga tak kalah kinclong. Sebut saja PT Telkom, yang mampu mengantungi laba bersih Rp12,6 triliun tahun lalu.] Coba pula lihat perusahaan pelat hitam milik swasta, yang juga begitu kinclong. Astra Internasional, misalnya, tahun lalu bahkan membukukan laba bersih hingga Rp14,366 triliun. Dan masih banyak deretan panjang perusahaan-perusahaan lainnya. Artinya, semakin banyak perusahaan Indonesia mampu mengantungi laba bersih yang begitu besar. Jika dihitung dengan kurs rupiah saat ini yang sekitar Rp8.700 per dolar AS, berarti semakin banyak perusahaan Indonesia, bahkan BUMN, yang mampu mengantungi laba bersih di atas US$1 miliar, seperti banyak perusahaan kelas dunia. *** Perusahaan kelas “one billion dolar” tentu bukan main-main. Mereka pasti dikelola dengan kepemimpinan dan manajemen yang visioner, memiliki model bisnis yang unggul, dan bukan sekadar menjalankan bisnis secara as usual ala kadarnya. Sebut saja contoh lain—meski bukan perusahaan sekelas “one billion dolar”—yakni satu grup te­­levisi swasta, yang mampu me­­ngantongi keuntungan lebih dari Rp2 triliun tahun lalu, dengan profit margin di atas 30%. Ada lagi satu perusahaan yang mengoperasikan tower bersama yang melayani perusahaan operator telekomunikasi, yang mampu mengoleksi profit margin lebih dari 50% tahun lalu, berkat model bisnis yang tepat dan berbeda. Coba saja bayangkan, dengan omset sekitar Rp600 miliar, mampu mengantungi laba Rp300 miliar lebih! Dengan jumlah karyawan tak begitu banyak, tak sampai 500 orang, maka produktivitas per karyawan perusahaan itu menjadi begitu besar. Benang merahnya adalah betapa sektor bisnis di Indonesia amat menggiurkan. Pasar yang besar, dengan sumberdaya pendukungnya, menjanjikan keuntungan besar pula jika perusahaan mampu menjalankan model bisnis dan governance yang benar. Tanpa perlu melakukan re­­ka­yasa keuangan untuk mengeruk uang masyarakat secara tidak bertanggungjawab pun, keuntungan akan mengalir jika memiliki trust dari konsumen yang jumlahnya begitu besar. Maka itu, kini banyak perusahaan asing mengincar pasar Indonesia yang dianggap gemuk sekaligus basah. Coba saja cermati data penjualan mobil baru. Kabar terakhir, penjualan mobil hingga akhir Maret sudah melampaui 80.000 unit hanya dalam satu bulan. Coba deh hitung berapa nilai pasa mobil itu. Dengan mengalikan harga mobil rata-rata Rp200 juta saja, nilai sales mobil baru selama Maret sudah mencapai Rp16 triliun! Saya hanya ingin mengemukakan gambaran besarnya, dan tidak bermaksud mengungkap angka persisnya, karena bisa dicek langsung ke “Om Google”, jika Anda penasaran. Tentu, rekor itu semakin menambah kejutan. Tahun lalu saja, saat penjualan mobil sepanjang tahun mampu melampaui 750.000 unit, yang berarti sudah menyalip pasar Thailand, kita sudah dibuat begitu ternganga. Apalagi dengan sales mobil baru 80.000 unit sebulan! Artinya, ternyata ekonomi terus berge­rak, tidak berhenti. Saya tidak percaya jika ada yang bilang ekonomi kita jelek. Ekonomi tidak jelek, cuma belum menghasilkan outcome sesuai dengan potensinya. Potensi itu akan benar-benar menjadi realita, jika kita mam­pu mempercayainya. Tapi tak cukup sekadar konsumen yang percaya, realitas ekonomi juga sangat ditentukan produk policy para penentu kebijakan di Istana para raja. ([email protected]) Oleh ARIEF BUDISUSILO, Wartawan Bisnis Indonesia


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Newswire
Editor : Newswire

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper