Bisnis Indonesia BANDUNG: Posisi penyaluran kredit perbankan di Jawa Barat hingga Agustus 2010 sebesar Rp114,74 triliun, atau tumbuh 28,04% dibandingkan dengan posisi yang sama tahun lalu. Data Kantor Bank Indonesia Bandung mencatat penyerapan kredit terbesar pada periode laporan itu ialah konsumsi sebesar Rp51,6 triliun. Sedangkan posisi pinjaman modal kerja sebesar Rp50,92 triliun dan kredit investasi sebesar Rp12,21 triliun. Lucky Fathul Aziz, Pemimpin Bank Indonesia Bandung, mengatakan pihaknya akan bertemu dengan pejabat Badan Koordinasi, Promosi, dan Penanaman Modal Daerah dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jabar untuk menghitung berapa besar kredit yang dibutuhkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja hingga akhir tahun. “Perlu dihitung untuk menaikkan pertumbuhan 1% itu butuh investasi berapa, baik dari bank, privat, maupun yang lainnya,” katanya. Lucky mengatakan untuk menopang pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja kredit konsumsi nominalnya harus lebih rendah dibandingkan dengan pinjaman investasi dan modal kerja. Porsi kredit konsumsi yang terlalu besar, kata dia, tidak menghadirkan nilai tambah bagi perekonomian Jabar. Data bank sentral menyebutkan pertumbuhan penyaluran kredit secara otomatis mengerek rasio pinjaman terhadap simpanan atau loan to deposit ratio (LDR) menjadi 77% per Agustus dari posisi Desember 2009 sebesar 74,2% Peneliti Ekonomi Madya KBI Bandung Naek Tigor Sinaga mengatakan porsi kredit produktif tetap lebih besar dibandingkan dengan konsumsi. Apabila kredit modal kerja dan investasi digabung, kata dia, maka kontribusinya mencapai sekitar 55% terhadap outstanding pinjaman. “Bahkan, sebenarnya ada juga skim kredit konsumsi yang pada sebenarnya digunakan untuk keperluan produktif. Contohnya, ada debitur yang mengajukan kredit motor yang akhirnya digunakan untuk mengojek,” ujarnya. Jasa dan UKM Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Jabar Bidang Perdagangan dan Investasi Djonni Andhella mengatakan industri di Jabar memang mengalami pertumbuhan walaupun tidak terlalu besar karena persaingan perdagangan dunia yang semakin tinggi. “Namun sepertinya porsi terbesar serapan kredit produktif terjadi di sektor jasa karena sektor riil justru sedang kurang menggeliat terutama akibat barang impor yang makin melimpah,” katanya kepada Bisnis. Menurut Djonni, kebutuhan pembiayaan pelaku industri di sektor riil masih sangat besar untuk meningkatkan daya saing produk namun terbentur suku bunga perbankan yang masih tinggi. Hal itu, katanya, membuat pengusaha lebih memilih menunggu penurunan suku bunga dan memaksimalkan kondisi keuangan yang ada. Acuviarta, ekonom dari Universitas Pasundan, menilai pertumbuhan kredit sebesar 28,04% saat ini cukup bagus dan menunjukkan kinerja perbankan sudah lebih bergerak. “Hanya saja, penyaluran kredit terpusat di Bandung sebesar 30% dari total penyaluran. Sedangkan di pinggir kota, seperti di tingkat kabupaten, belum terlihat optimal, padahal pelaku usahanya lebih didominasi oleh sektor riil yang sangat membutuhkan bantuan kredit perbankan,” katanya. Menurut dia, di sejumlah daerah pinggir kota, alternatif pendanaan sangat sempit sehingga NPL pun cukup rendah yaitu di bawah 1%, seperti di Majalengka dan Kuningan. Acuviarta mengatakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi Jabar sebesar 7%, maka pertumbuhan kredit harus 30%--35%. (k35/k37/k38) (ban[email protected])
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Artistik Bandung
Editor : Artistik Bandung
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
14 jam yang lalu
Taruhan Besar di Saham Adaro Minerals (ADMR)
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
4 hari yang lalu
OJK Gandeng FSS Korea Tingkatkan Pengawasan Sektor Keuangan
14 jam yang lalu