Bisnis.com, CIREBON - Petani garam di Kabupaten Cirebon tengah menghadapi tantangan berat tahun ini akibat kemarau basah.
Kondisi cuaca yang berbeda dari biasanya ini menyebabkan proses kristalisasi garam terganggu, mengancam produksi dan pendapatan para petani garam di wilayah pesisir tersebut.
Kemarau basah, yang biasanya ditandai dengan cuaca panas dan sedikit hujan, tahun ini justru diwarnai hujan ringan hingga sedang yang sering turun tanpa menentu.
Menurut para petani garam, curah hujan yang masih berlangsung di musim kemarau menyebabkan air laut tidak dapat menguap sempurna, sehingga garam sulit mengkristal.
“Sebenarnya musim kemarau ini waktu terbaik kami untuk menghasilkan garam berkualitas. Tapi sekarang air laut susah mengering, garam jadi lama terbentuk dan kualitasnya menurun,” ujar salah seorang petani garam di Desa Kanci, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Rohman, Jumat (23/5/2025).
Rohman dan rekan-rekannya sudah mulai merasakan dampaknya. Produksi garam yang biasanya bisa mencapai puluhan ton kini menurun drastis. Tak hanya itu, harga jual pun terancam ikut anjlok akibat kualitas garam yang kurang maksimal.
Baca Juga
“Kalau proses kristalisasi terus terganggu, kami bisa rugi besar. Ini juga berpengaruh ke kehidupan keluarga kami yang mengandalkan hasil garam sebagai mata pencaharian,” katanya.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi bahwa musim kemarau tahun ini akan berlangsung lebih pendek dari biasanya. Namun, bukan berarti Indonesia terbebas dari risiko bencana iklim.
Justru, kemarau yang tak seragam durasinya berpotensi menimbulkan ancaman tersembunyi di berbagai sektor, dari pertanian hingga kesehatan.