Bisnis.com, CIREBON- Di bawah terik matahari tak kenal ampun, kendaraan demi kendaraan melaju di jalan tol Cikopo-Palimanan (Cipali), menyatu dalam alunan bunyi mesin yang tak pernah berhenti.
Jalan tol sepanjang 116,75 kilometer ini telah menjadi urat nadi bagi masyarakat Pulau Jawa sejak diresmikan pada 2015. Menghubungkan Kabupaten Purwakarta dengan Kabupaten Cirebon, Cipali menawarkan efisiensi waktu, kenyamanan perjalanan, namun juga menyimpan cerita di balik panjang lintasannya.
Bagi sebagian orang, Cipali adalah simbol kemajuan infrastruktur yang menjanjikan konektivitas. Namun, bagi yang lain, jalan tol ini adalah saksi bisu dari peluh, perjuangan, bahkan tragedi yang tak jarang menghiasi perjalanan panjangnya.
Sabtu (23/11/2024) pagi, Arief Hidayat (35), seorang sopir truk logistik yang melintas hampir setiap pekan, berbagi kisahnya. Ia sedang beristirahat di salah satu rest area di KM 164 arah Jakarta, menyesap kopi pahit yang menguarkan aroma menenangkan.
“Jalan ini bikin pekerjaan saya jauh lebih cepat. Dulu sebelum Cipali, kalau mau kirim barang ke Semarang atau Surabaya, harus lewat Pantura. Bisa makan waktu 12-15 jam, belum lagi macetnya,” ujar Arief. Namun, ia tak menampik bahwa Cipali memiliki sisi gelap.
“Di sini itu panjang, lurus, bikin orang suka lupa. Kadang pengemudi jadi terlena, merasa jalannya gampang, terus main kebut aja. Kalau saya, lebih pilih aman, apalagi bawa muatan berat. Tapi Mas lihat sendiri, yang namanya mobil kecil atau bus sering nyalip tanpa lihat kanan-kiri,” katanya sambil menggeleng.
Baca Juga
Data dari Astra Tol Cipali, pengelola jalan tol ini, memperkuat pengamatan Arief. Dalam catatan mereka, lebih dari 70% kecelakaan di Cipali disebabkan oleh human error, seperti kelelahan, kelalaian, atau berkendara dengan kecepatan tinggi.
Astra Tol Cipali memahami hal ini. Dari pemantauan intensif terhadap statistik kecelakaan hingga survei perilaku pengguna jalan, mereka menyusun strategi 3E yang menjadi bagian integral dalam pengelolaan tol ini.
Program inovatif 3E ini bertujuan untuk mengatasi tiga pilar keselamatan: engineering (rekayasa), enforcement (penegakan), dan education (edukasi). Kombinasi ketiga elemen ini telah menjadi tulang punggung dalam menjaga keseimbangan antara efisiensi dan keselamatan bagi pengguna jalan.
Langkah pertama dari program 3E adalah "Engineering" atau rekayasa fasilitas keselamatan. Tidak sekadar membangun jalan, Astra Tol Cipali memastikan infrastruktur yang ada mendukung upaya pencegahan kecelakaan.
Salah satu contohnya adalah pemasangan speed reducer di titik-titik yang rawan kecelakaan. Alat ini bertujuan untuk memperlambat laju kendaraan tanpa mengganggu kenyamanan berkendara.
"Jalan tol dengan panjang yang hampir tak terputus cenderung membuat pengemudi terlena, terutama saat malam hari atau dalam perjalanan jarak jauh," ujar Operations Management Dept Head Astra Tol Cipali, Prayogi Setyo Pratomo dalam bincang Ngaspal, Rabu (23/10/2024).
"Dengan speed reducer, kami bisa memaksa pengemudi untuk menurunkan kecepatannya, terutama di area yang rawan kecelakaan," imbuhnya.
Selain speed reducer, Astra Tol Cipali juga memasang rambu-rambu lalu lintas yang sangat jelas di sepanjang tol. Fasilitas rest area yang tersebar di beberapa titik strategis menjadi tempat bagi para pengendara untuk beristirahat dan menyegarkan diri, menghindari potensi kelelahan yang kerap menjadi salah satu penyebab kecelakaan.
Meski infrastruktur sudah dibangun dengan baik, disiplin para pengguna jalan tetap menjadi kunci utama untuk mencegah kecelakaan. Di sinilah elemen kedua dari program 3E, yaitu enforcement (penegakan), berperan penting.
Astra Tol Cipali bekerja sama dengan pihak kepolisian dan dinas perhubungan untuk memastikan aturan lalu lintas di jalan tol ini dijalankan dengan ketat.
Patroli rutin dilakukan di sepanjang jalan tol untuk memantau kendaraan yang melebihi batas kecepatan. Tidak hanya itu, kamera pengawas dan sensor kecepatan juga dipasang di beberapa titik untuk mendeteksi pelanggaran yang mungkin terjadi.
"Setiap kali kami menemukan pelanggaran, tindakan langsung dilakukan. Misalnya, bagi mereka yang tertangkap melebihi batas kecepatan, kami akan segera memberhentikan kendaraan dan memberikan teguran," ujar Kepala Unit Keamanan dan Keselamatan Polres Subang, Ipda Herlina Swandy.
Program penegakan hukum ini tidak hanya bertujuan untuk menghukum pelanggar, tetapi juga untuk memberikan pendidikan langsung kepada pengguna jalan tentang pentingnya mengikuti aturan lalu lintas.
Dalam banyak kasus, pengemudi dihentikan tidak hanya diberi teguran, tetapi juga diedukasi tentang risiko yang mereka hadapi dan bagaimana perilaku mereka memengaruhi keselamatan orang lain.
Bagian ketiga dari program 3E adalah Education (edukasi). Astra Tol Cipali tidak hanya fokus pada pencegahan melalui infrastruktur dan penegakan hukum, tetapi juga berupaya meningkatkan kesadaran keselamatan di kalangan masyarakat luas.
"Keselamatan berkendara tidak hanya soal mematuhi aturan di jalan tol, tetapi juga soal pola pikir. Kami ingin menciptakan budaya keselamatan, di mana setiap pengendara paham bahwa tindakan mereka memiliki dampak besar bagi orang lain," kata Prayogi.
Salah satu cara Astra Tol Cipali membangun budaya ini adalah dengan melakukan kampanye edukasi di berbagai media, mulai dari papan informasi di sepanjang jalan tol hingga kampanye daring di media sosial.
Tidak hanya itu, Astra juga rutin mengadakan program sosialisasi di sekolah-sekolah dan komunitas untuk mengedukasi anak-anak muda tentang pentingnya keselamatan di jalan raya.
Bukan hanya pengemudi truk seperti Arief yang merasakan suka-duka melintas di Cipali. Rani Pratiwi (29), seorang karyawan swasta di Jakarta, sering menggunakan Cipali untuk mudik ke kampung halamannya di Pekalongan. Baginya, Cipali adalah penyelamat waktu.
“Saya biasanya berangkat malam biar nggak terlalu macet di Jakarta. Kalau lancar, perjalanan ke Pekalongan cuma lima jam. Tapi jujur, jalan ini kadang bikin ngeri juga. Kalau lewat malam, jalannya sepi banget, terus sering ada kendaraan ngebut,” kata Rani.
Ia pernah mengalami momen menegangkan saat mobil yang dikemudikan saudaranya hampir tertabrak truk yang melaju zig-zag di KM 102. “Kayaknya sopir truk itu ngantuk. Untung kami langsung banting setir ke bahu jalan,” kenangnya.
Cerita Rani dan Arief mencerminkan tantangan yang sering dihadapi di Cipali kecepatan tinggi dan pengemudi yang mengabaikan batasan fisiknya.
Lelah yang Mematikan
Kelelahan menjadi momok terbesar di Cipali, terutama bagi pengemudi jarak jauh. Ipda Harlina menjelaskan fenomena ini.
“Cipali memiliki karakteristik jalan yang cenderung monoton. Panjang, lurus, dan minim variasi pemandangan. Ini memicu rasa kantuk yang sulit dilawan, apalagi jika pengemudi tidak cukup istirahat sebelumnya,” kata Ipda Harlina Swandy.
Harlina mengapresiasi langkah Astra Tol Cipali yang menyediakan fasilitas pengingat di rest area. “Mereka memasang spanduk besar bertuliskan ‘Istirahat Jika Lelah’ di beberapa titik strategis. Namun, edukasi harus lebih masif. Masyarakat perlu paham bahwa istirahat itu bukan pilihan, tapi keharusan,” katanya.
Prayoga kembali menekankan, upaya pengelola Cipali tak akan berhenti. Pengelola jalur bebas hambatan ini terus mengembangkan teknologi untuk mendukung keselamatan.
Selain itu, Astra Tol Cipali juga menggandeng komunitas pengemudi dan organisasi transportasi untuk mengedukasi pengemudi tentang pentingnya keselamatan berkendara.
“Ini bukan hanya tugas pengelola, tapi tanggung jawab bersama. Dari pengemudi, penumpang, hingga pemerintah,” katanya.
Di ujung pembicaraan, Arief kembali mengingatkan bahwa Cipali adalah cerminan dari perjalanan hidup. “Jalan ini bikin kita ingat. Hidup itu nggak cuma soal cepat sampai. Kadang, kita harus pelan-pelan, nikmati perjalanan, dan jangan lupa istirahat,” katanya sambil tersenyum.
Langit biru di atas Cipali tetap sama, membentang tanpa batas. Ribuan kendaraan masih berlalu-lalang, membawa cerita yang berbeda. Di balik panjang lintasan ini, ada harapan, perjuangan, dan tentu saja, pelajaran untuk semua. Cipali bukan sekadar jalan tol. Ia adalah perjalanan hidup yang terus berbicara.