Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Desa Bantaragung, Melawan Arus Kelangkaan Beras dengan Kemandirian Pangan

Di desa yang berjarak 56 kilometer dari Bandara Internasional Kertajati ini, warga mempertahankan praktik bertani organik dengan disiplin.
Lahan pertanian padi organik di Desa Bantaragung, Kecamatan Sindangwangi, Kabupaten Majalengka
Lahan pertanian padi organik di Desa Bantaragung, Kecamatan Sindangwangi, Kabupaten Majalengka

Bisnis.com, MAJALENGKA - Sepanjang 2024 ini, pasar-pasar di seluruh Indonesia diwarnai kenaikan harga beras yang merangkak naik seiring kelangkaan stok. Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional menunjukkan, harga beras jenis medium menembus angka Rp14.000 per kilogram, naik 30%.

Pemandangan antrean panjang dan lonjakan harga beberapa kali terasa di setiap sudut kota dan desa di tanah air. Namun, di Desa Bantaragung, Kecamatan Sindangwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat situasinya berbeda.

Di balik bentang lahan hijau yang membentang hingga ke kaki Gunung Ciremai, warga desa ini tetap tenang. Tidak ada kepanikan membeli beras atau khawatir soal kenaikan harga.

Langkah mandiri ini bukanlah keputusan sesaat, tetapi hasil dari perjalanan panjang yang dimulai sejak satu dekade lalu. Kini, dengan ketahanan pangan berbasis padi organik, Bantaragung menjadi model desa mandiri di tengah gempuran isu kelangkaan beras di pasar daerah.

Di desa yang berjarak 56 kilometer dari Bandara Internasional Kertajati ini, warga mempertahankan praktik bertani organik dengan disiplin. 

Pilihan bertani organik mengubah wajah pertanian desa menjadi lebih berkelanjutan dan stabil dalam menghasilkan beras tanpa harus bergantung pada pupuk atau pestisida kimia yang harganya fluktuatif.

“Dalam setahun, kami mampu panen tiga kali dengan hasil yang konsisten," ujar Suryani, salah satu petani lokal yang aktif dalam komunitas padi organik. Bagi Suryani, bertani padi organik bukan hanya soal harga, tetapi juga warisan untuk generasi selanjutnya.

Kendati banyak lahan di wilayah lain dialihfungsikan, Suryani bersyukur bahwa Bantaragung masih mampu mempertahankan luas lahan pertanian yang ada. 

Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), Kabupaten Majelangka mengalami tekanan dari alih fungsi lahan yang rata-rata mencapai 5,09% setiap tahunnya untuk menjadi perumahan atau industri. Pada 2018, luas lahan pertanian padi sekitar 39.699 hektare, tetapi kini susut menjadi 37.680 hektare.

Namun begitu, Desa Bantaragung menjadi pengecualian. "Ini hasil kerja bersama. Ada komitmen kuat dari masyarakat desa, termasuk pemuda yang kami libatkan dalam menjaga lahan pertanian," kata Kepala Desa Bantaragung, Samhari saat ditemui dalam Festival Bumi Bantaragung di desanya, Sabtu (26/10/2024).

Di tengah kondisi sulit, Bantaragung justru menunjukkan pertumbuhan positif dalam ketahanan pangan. Berdasarkan laporan tahunan desa, produksi padi organik mencapai tujuh ton per hektare dalam satu musim panen. Desa ini memiliki sekitar 60 hektare lahan yang dikelola sebagai padi organik, sehingga produksi tahunan mencapai sekitar 840 ton. 

Dengan rata-rata konsumsi beras per kapita sekitar 120 kilogram per tahun, Bantaragung mampu memenuhi kebutuhan warga hingga berlebih.

Menurut data dari pemerintah desa, hingga 2023, sekitar 90% dari total lahan pertanian di Bantaragung sudah dialihkan ke metode organik. Dari segi ekonomi, rata-rata pendapatan petani Bantaragung meningkat sekira 20%  sejak beralih ke pertanian organik lantaran biaya produksi lebih rendah dan harga jual lebih tinggi untuk beras organik.

Menurut Samhari, stok beras Bantaragung mencukupi kebutuhan untuk satu tahun ke depan. Hal ini bukan hanya berdampak pada ketahanan pangan, melainkan juga menstabilkan harga di tingkat desa. "Di luar harga beras naik, tetapi di sini, kami warga Bantaragung menikmati harga yang stabil dan murah," ujar Samhari.

Peralihan ke padi organik membawa dampak positif bagi kesehatan masyarakat desa. Pemerintah desa tidak lagi mendapatkan laporan soal adanya petani yang mengalami gangguan kesehatan akibat racun pestisida. Petani di Bantaragung kini menggunakan pupuk organik berupa kotoran hewan untuk menyuburkan tanaman.

"Tidak ada lagi yang ngeluh keracunan gara-gara pupuk. Selain itu juga, produksi padi juga naik. Waktu pakai pupuk kimia, hasil produksi cuma tiga ton per hektarenya," kata Samhari.

Diboyong Bank Indonesia hingga Ubud

Di balik kedaulatan pangan Bantaragung ada peran Bank Indonesia (BI). Lembaga negara ini memberikan dukungan berupa pelatihan dan program pendampingan bagi petani di Bantaragung.

Dalam hal ini, BI menjembatani akses pasar untuk produk beras organik desa melalui kerjasama dengan koperasi dan usaha kecil menengah (UKM) di wilayah sekitar. "Ada sebuah peluang menjadikan beras organik Bantaragung menjadi produk unggulan daerah. Kami melihat peluang sangat terbuka,” kata Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Cirebon, Agung Budi Laksono.

Agung mengaku, pihaknya mengapresiasi model kemandirian pangan di Bantaragung. Ketergantungan pada impor dan pasar internasional bisa memicu harga pangan nasional rentan bergejolak saat ada gangguan pasokan. Desa yang mengelola pangan secara mandiri, kata Agung, adalah upaya nyata untuk menghadirkan stabilitas yang tidak mudah goyah.

“Saat harga beras naik, desa seperti Bantaragung bisa stabil. Warga di sana tidak panik karena beras melimpah dari sawah sendiri. Ini adalah ketahanan pangan," tutur Agung.

Desa di ujung timur Kabupaten Majalengka ini diuntungkan lantaran sejak lama selalu menerapkan pola berbeda. Setiap masa panen tiba, para petani menyimpan sebagian besar padi ke dalam cadangan pangan desa, sementara sisanya dijual ke pasar lokal untuk mendukung perekonomian desa.

Meski mengandalkan teknik tradisional, kata Agung, sebagian besar petani di Bantaragung tidak menutup diri terhadap teknologi. BI memperkenalkan inovasi yang relevan dengan karakter pertanian di Bantaragung. 

Beberapa waktu lalu, para petani di Bantaragung diajak melakukan studi tiru ke Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali. Di sana, mereka melihat upaya pengembangan pertanian padi organik sebagai bagian dari upaya menjaga kelestarian lingkungan dan mendukung pariwisata berkelanjutan. 

Kondisi geografis Ubud yang memiliki sawah berundak (terasering), tanah vulkanis subur, dan sungai dianggap memiliki kesamaan. Keberhasilan Ubud sebagai desa wisata dan pertanian sudah sepatutnya patut ditiru oleh Desa Bantaragung.

"Ubud sudah terlalu mainstream, mungkin beberapa tahun ke depan Bantaragung akan menjadi tujuan utama wisatawan, terutama dari mancanegara," ujar Agung.

Bank Indonesia mengharapkan, Bantaragung menginspirasi desa-desa lain di kaki Gunung Ciremai mampu mempertahankan kedaulatan pangan melalui metode pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Ahmad adalah salah satu dari sekian banyak petani di Bantaragung yang memutuskan bertani dengan prinsip-prinsip organik. Awalnya, ia ragu dengan hasilnya, tetapi setelah tahun pertama, hasil panen cukup membuat ia semringah.

Tantangan besar Ahmad adalah menjaga komitmen untuk tetap menanam padi organik di tengah petani yang masih gunakan pupuk kimia demi hasil. "Sudah tahu risikonya, tetapi kami tidak ingin menyerah,” tegasnya.

Desa Bantaragung telah membentuk kelompok tani yang saling mendukung dan bertukar informasi. Bahkan, mereka memiliki sistem tabungan beras. Tabungan tersebut memungkinkan setiap petani membantu masyarakat desa yang mengalami kekurangan beras. 

Kepala desa pun mengatakan, pentingnya edukasi kepada generasi muda untuk melanjutkan tradisi bertani organik. Melalui kelompok sadar wisata hingga karang taruna, semua memiliki kewajiban menjaga lahan pertanian serta mempromosikan pertanian organik ke luar desa. 

Dengan mempertahankan lahan organik, kata Ahmad, Bantaragung tidak hanya sekadar bertahan, melainkan berpotensi menjadi penopang pangan lokal di Majalengka. 

"Saat semua desa mengalami krisis, kami mudah-mudahan bisa memberi contoh kalau ketahanan pangan bukan hanya sebatas wacana, tetapi bisa dilakukan melalui kerjasama semua pihak," ujar Samhari.

Memanggil Anak-anaknya Kembali Pulang

Belasan tahun lalu, Bantaragung terlupakan oleh warganya sendiri,  rumah-rumah bergeming menantikan penghuni yang memilih pergi. Merantau menjadi pilihan bagi banyak dari mereka, meninggalkan desa dengan janji akan kembali, meski tak pasti kapan.

Waktu berlalu, Bantaragung yang diabaikan, mulai bersolek. Dihias oleh pariwisata berkelanjutan dan pertanian organik, Bantaragung berbisik memanggil anak-anaknya kembali pulang.

Samhari bercerita, belasan tahun lalu tidak ada yang datang berwisata ke Bantaragung. Padahal, desa ini memiliki hamparan sawah, hutan kecil, dan lereng bukit memeluk desa. "Dulu, desa desa ini seperti gebang menuju hutan. Warga yang tinggal desa kalau tidak merantau, menjadi penyadap getah pinus," kata Samhari.

Pada 2009, masyarakat desa menyulap daerah semak belukar menjadi destinasi wisata setelah mendapatkan izin dari Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC). Tak lama kemudian, suara riuh wisatawan mulai terdengar.  Pemandangan wisatawan berjalan di pematang sawah, mencium aroma tanah, merasakan embun di pagi hari, dan menatap matahari tenggelam di ujung bukit menjadi hal baru.

Wisatawan tidak hanya melihat sekadar sawah dan kebun. Mereka melihat warisan, cara hidup yang sederhana, dan keramahan Bantaragung. "Petani juga seringkali mengajak wisatawan bercocok tanam atau juga menikmati hasil bumi yang ditanam dengan tulus," kata Samhari.

Di ladang dan sawah itu, para petani mengajak mereka menanam, memanen, atau sekadar duduk menikmati hasil alam yang dipersembahkan dengan tulus.

Bantaragung beranjak ramai, bukan karena hiruk pikuk modernitas, tetapi oleh kesederhanaan yang dicari wisatawan dan juga tawa mereka yang pergi dan kini kembali pulang. Di penjuru desa, anak muda yang dahulu terpaksa merantau kini punya alasan untuk menetap. 

Beberapa dari mereka menjadi pemandu wisata untuk mengajak wisatawan menyusuri lekuk-lekuk desa. Sementara yang lainnya, menjual hasil bumi organik langsung kepada wisatawan atau membuka kedai kopi lokal.

Kegigihan ini pun mengantarkan Desa Bantargung masuk ke dalam 75 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) pada 2023.

"Tidak pernah menyangka, kepedulian masyarakat mengantarkan Bantaragung menerima penghargaan yang luar biasa dari pemerintah. Ini artinya, keberadaan desa kami diakui," ujar Samhari semringah.

Dalam kesederhanaan, Bantaragung menumbuhkan harapan baru. Pariwisata berkelanjutan di sini bukan tentang menghias desa dengan kemewahan, melainkan tentang merawat yang ada dan mengajak orang lain melihat keindahan dalam kesederhanaan. 

Bantaragung kini bukan hanya sebuah nama dalam peta Majalengka. Ia adalah simbol akan ketulusan untuk berakar di tempat lahirnya, tanah yang memberi makan, menghidupi, dan udara  menyejukkan. Di tengah sawah organik dan wisata berkesinambungan, Bantaragung menemukan kembali jiwanya, dan ia menghidupkan jiwa-jiwa mereka yang kini pulang. (K45)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hakim Baihaqi
Editor : Ajijah
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper