Bisnis.com, CIREBON - Pagi di Desa Tegalsari, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (24/9/2024) terdengar suara mesin yang menderu pelan.
Di sebuah penggilingan padi sederhana, terlihat beberapa karung beras sudah siap angkut. Karung-karung itu diletakkan rapi di sudut gudang yang dindingnya mulai rapuh dimakan usia.
Meski sudah berjam-jam bekerja, suara mesin itu tak kunjung berhenti. Tapi, bukan suara mesin yang menghantui pikiran Usman Effendi, petani padi ini. Melainkan bagaimana ia bisa memasukkan hasil jerih payahnya ke gudang Perum Bulog Cirebon yang semakin terasa mustahil.
Usman menggambarkan betapa kerasnya hidup sebagai petani bercerita dengan lirih. “Standar mutunya makin tinggi, sementara kita di sini masih begini-begini aja. Modal nggak nambah, tapi tuntutan terus naik,” katanya sambil menunjuk karung-karung beras yang sudah siap jual.
Namun, seiring dengan kebijakan pemerintah yang memperketat standar mutu beras, terutama untuk stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) di Bulog, petani seperti Usman harus berjuang lebih keras.
Standar yang ditetapkan Bulog meliputi kadar air, butiran patah, dan kebersihan beras, hal-hal yang sebenarnya bisa dijaga jika ada teknologi pengolahan yang memadai. Tapi di sisi lain, minimnya modal untuk meningkatkan kapasitas alat penggilingan menjadi hambatan utama bagi mereka.
Baca Juga
“Beras yang masuk Bulog harus sesuai standar nasional. Kadar air harus kurang dari 14%, patahan harus sedikit, dan beras harus bersih dari kotoran. Kalau nggak sesuai, ya terpaksa kami tolak," kata kepala Kantor Bulog Cirebon Ramaijon Purba saat ditemui di kantor cabang Bulog, Kota Cirebon, Rabu (11/9/2024).
Ketatnya standar mutu beras ini, menurut Ramaijon bukan tanpa alasan. Bulog harus memastikan beras yang disimpan bisa bertahan lama. Kalau kualitasnya kurang, beras cepat rusak dan ini akan merugikan negara karena Bulog punya tanggung jawab menjaga stabilitas pangan.
Namun, Ramaijon mengakui, standar mutu yang tinggi ini kerap kali menyulitkan penggilingan kecil untuk menembus pasar Bulog. "Penggilingan kecil ini sulit untuk memenuhi standar, tapi apa boleh buat? Peraturan sudah ditetapkan, dan kita juga harus menjaga kualitas beras yang kita tampung,” tambahnya.
Sementara itu, di sisi lain, petani juga menghadapi dilema yang tidak jauh berbeda. Ahmad, seorang petani di Gegesik, Kabupaten Cirebon yang sama dengan Usman mengeluhkan harga gabah tidak menentu.
Di satu sisi, harga gabah kering panen (GKP) yang dijualnya ke penggilingan sering kali berada di bawah harga acuan pemerintah. Di sisi lain, ia juga sadar penggilingan kecil tidak punya banyak pilihan, karena setelah membeli gabah, mereka masih harus memikirkan biaya operasional penggilingan.
“Kalau dijual ke Bulog lewat penggilingan besar, mereka minta gabah yang kadar airnya harus rendah, sementara saya belum punya alat pengering gabah. Ya, mau nggak mau saya jual ke penggilingan kecil meski harganya lebih murah. Saya ngerti juga penggilingan kecil nggak bisa kasih harga lebih, mereka juga susah," keluh Ahmad.
Lingkaran Setan
Kondisi ini menciptakan lingkaran setan. Penggilingan kecil kesulitan memenuhi standar karena terbatasnya modal untuk meningkatkan teknologi, sementara petani harus menjual gabah dengan harga murah karena tidak bisa memenuhi standar kadar air.
Kedua belah pihak ini akhirnya terjebak dalam situasi sulit yang terus berulang, terutama ketika harga gabah jatuh di musim panen raya.
Ramaijon tidak menampik sistem yang ada saat ini memang lebih menguntungkan penggilingan besar. “Kalau penggilingan besar kan mereka punya modal lebih, jadi bisa pasang mesin yang lebih canggih. Mereka juga bisa beli gabah dari petani yang kualitasnya sudah sesuai standar. Ya otomatis, penggilingan besar lebih sering masukin beras ke Bulog," ujar Ramaijon
Dinamika yang terjadi di sektor penggilingan padi kecil ini menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana pemerintah bisa membantu mereka tanpa harus menurunkan standar mutu.
Bagaimanapun, peran penggilingan kecil sangat signifikan dalam menyerap gabah dari petani-petani di daerah pedesaan. Jika penggilingan kecil semakin tertekan dan kalah bersaing, nasib para petani juga akan semakin terpuruk.
Usman, petani yang sejak awal sudah sering berurusan dengan penggilingan kecil, berharap ada kebijakan lebih berpihak pada mereka.
“Kalau bisa, pemerintah bantu kami buat beli alat pengering. Kalau gabah sudah kering, pasti harganya lebih tinggi dan penggilingan juga nggak susah buat jual beras ke Bulog. Sekarang semuanya serba tanggung, gabah basah, harga murah, terus kita ditekan sama tengkulak,” keluhnya.
Di tingkat pusat, kata Usman, pemerintah melalui Kementerian Pertanian sebenarnya sudah meluncurkan berbagai program bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan), tapi akses terhadap bantuan ini sering kali tidak merata dan cenderung lebih mudah didapatkan oleh kelompok tani besar atau penggilingan yang memiliki koneksi.
Baginya, usaha kecilnya ini adalah jalan hidup yang sudah digelutinya sejak muda. “Saya nggak mau menyerah. Mudah-mudahan nanti ada bantuan atau solusi. Kalau nggak, ya kita akan terus bertahan, meski dengan segala kesulitan ini,” katanya sambil melipat tangan di dada, seolah menahan beban yang dipikulnya.
Pada akhirnya, kisah penggilingan padi kecil ini menggambarkan bagaimana sebuah sistem yang baik di atas kertas, dalam praktiknya, bisa menjadi tembok tinggi bagi mereka yang berada di bawah. Meski demikian, semangat dan harapan terus menyala, mengais butir demi butir gabah yang masih tersembunyi di balik standar ketat.