Bisnis.com, BANDUNG– Layaknya sebuah pesta, pelaksanaan Pemilihan Umum 2024 ternyata juga menyisakan sampah. Usai menggelar hajat, alat peraga kampanye atau APK yang kerap menghiasi jalanan berujung menjadi limbah politik.
Kondisi itu meresahkan untuk sebagian masyarakat, salah satunya Komunitas Masagi Tijibogo. Atas kegelisahan itu pula, komunitas yang beralamat di Jalan Terusan Cibogo Atas, RT 04 RW 04 No.44, Kelurahan Sukawarna, Kecamatan Sukajadi, Kota Bandung, itu menelurkan ide untuk daur ulang sampah APK menjadi media tanam berupa polybag.
Ketua Komunitas Masagi Tijibogo Dian Nurdiana mengatakan kegelisahan itu muncul saat melihat kondisi lingkungan yang memburuk akibat dari tingginya jumlah sampah APK, terutama di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) dan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).
Menurut informasi yang diperolehnya, Dian menjelaskan bahwa Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) telah mengeluarkan pernyataan bahwa sampah APK merupakan sampah residu yang sulit didaur ulang. Sampah APK kemudian menumpuk bukan hanya di daratan bahkan mencemari perairan.
"Wah, sangat buruk sekali. Saya mencoba meninjau ke wilayah Tamansari dan berbincang dengan teman, mereka mengatakan bahwa sampah APK itu dibakar. Ini jelas merusak lingkungan,” katanya kepada Bisnis.com, baru-baru ini.
Menurut Dian, berdasarkan Undang-Undang Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), partai politik dan calon legislatifllah yang seharusnya bertanggung jawab karena mereka yang menciptakan sampah tersebut.
"Tapi ya, saya tidak tahu. Saya melakukan ini semata-mata atas dasar kepedulian dan semangat kebersamaan, agar masalah lingkungan yang semakin buruk ini bisa diatasi,” katanya.
Pria yang akrab disapa Mang Dian itu menuturkan awalnya, dia melakukannya sendiri, seiring berjalannya waktu dan semakin banyaknya anggota komunitas yang bergabung, mereka mulai bekerja sama dalam mengelola sampah APK dan menghasilkan polybag.
Diketahui, Masagi Tjibogo kini melibatkan lebih dari 50 anggota, sebagian besar adalah ibu rumah tangga dari dua RT yang berbeda.
Dari kegiatan tersebut, komunitas Masagi Tjibogo telah berhasil memproduksi sekitar 250 polybag, yang akan dimanfaatkan dalam program "Tiis Leungeun" dari gerakan sedekah bibit.
Program itu bertujuan untuk membagikan bibit tanaman kepada warga, dengan menggunakan polybag APK sebagai media tanamnya supaya bisa termanfaatkan secara maksimal.
"Sampah dapat menjadi nilai edukasi dan juga membantu menghemat biaya pembelian media tanam," ujar Dian.
Dian yang juga menjabat Ketua RT 04 meminta kepada pemerintah untuk bertindak nyata dengan membatasi dan mengatur penggunaan APK secara ketat.
Ia meyakini bahwa kampanye sebaiknya dilakukan tanpa menggunakan alat peraga kampanye yang berpotensi menjadi sampah residu.
“Mudah-mudahan di Pemilu yang akan datang, dibatasi lah alat peraga semacam ini. Ini kan akan menambah buruk kondisi lingkungan baik di darat maupun di air,” ungkap Dian.
Tunas Harapan Peduli Lingkungan
Tidak hanya itu, komunitas yang berdiri sejak 2019 itu juga aktif dalam pengembangan pembuatan tas belanja ramah lingkungan dan map Kertas. Semua kegiatan ini masih dilakukan secara manual, mulai dari pembuatan pola hingga proses menjahitnya.
Salah satu kegiatan utama komunitas ini adalah perelek sampah, sebuah tradisi lokal Sunda yang diadaptasi menjadi upaya pengumpulan dan pengelolaan sampah rumah tangga. Selain itu, mereka juga rutin mengadakan kegiatan Jumat bersih dan aktif dalam kegiatan berkebun.
Komunitas Masagi Tjibogo menjadi tunas harapan untuk menumbuhkan kepedulian dan aksi nyata warga masyarakat dalam merespons kondisi lingkungan yang semakin meresahkan.
Salah satu anggota Komunitas Masagi, Iis, mengemukakan kehadiran komunitas itu memberikan kegiatan positif yang dapat dimanfaatkan dalam waktu luang.
Namun, Iis juga menyayangkan minimnya kontribusi dari pemerintah setempat dalam mendukung dan mengembangkan kegiatan positif yang dilakukan komunitas.
"Kami ingin pemerintah setempat memberikan dukungan dan fasilitasi, misalnya dalam penyediaan bibit tanaman," ujar Iis.
Ia menjelaskan bahwa selama ini, Komunitas Masagi Tjibogo menerapkan sistem yang berkelanjutan dalam membiayai kegiatan mereka.
Mereka menanam benih, panen, dan menjualnya kepada warga setempat tanpa mengambil keuntungan besar. Uang yang terkumpul kemudian digunakan untuk membeli bibit kembali, menjaga siklus berkelanjutan dalam mendukung lingkungan dan kegiatan komunitas.
Inisiatif yang diambil oleh komunitas Masagi Tjibogo merupakan contoh konkret bahwa perubahan positif dalam lingkungan dapat dimulai dari tindakan sederhana namun berkelanjutan. Kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan merupakan kunci utama dalam menciptakan perubahan yang berarti.