Bisnis.com, BANDUNG - Perekonomian Indonesia, khususnya Jawa Barat kini masih menghadapi risiko dan tantangan. Hal tersebut diakibatkan eskalasi geopolitik antara Rusia-Ukraina, kebijakan Zero-Covid Tiongkok serta kebijakan food protectionism yang memicu disrupsi rantai pasokan pangan.
Berbagai gangguan tersebut mendorong peningkatan harga komoditas global utamanya pada kelompok energi dan pangan yang memberikan tekanan pada inflasi global. Peningkatan inflasi global ini pada akhirnya bertransmisi ke dalam negeri dalam bentuk imported inflation sehingga turut menekan inflasi nasional maupun Jawa Barat.
Meski demikian, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jawa Barat Herawanto menyatakan sebenarnya jika melihat kondisi perekonomian di tingkat regional Jawa Barat hal tersebut tidak terlalu mengkhawatirkan mengingat sejumlah indikator perekonomian tetap bisa dijaga dengan baik.
Beberapa di antaranya, kata Herawanto, adalah perkembangan kredit yang terus naik, Purchasing Manager Index (PMI) atau index pembelian yang baik serta pertumbuhan ekspor yang terus meningkat dan bertambahnya penumpang pesawat juga dunia pariwisata yang terus menggeliat.
Meski demikian, Herawanto mengaku jika pemerintah tidak hati-hati dalam membuat kebijakan, ada sinyal yang akan meruntuhkan indikator positif perekonomian Jawa Barat.
"Tapi kalau tidak hati-hati, ada sinyal-sinyal hal bagus itu semua bisa ketahan dan yang paling mengkhawatirkan kembali menukik lagi. Itu yang kita jaga momentumnya," ungkap Herawanto usai High Level Meeting TPID Jawa Barat, di Gedung Sate, Kota Bandung, Kamis (14/7/2022).
Herawanto menilai, dengan kondisi ancaman perekonomian global yang berisiko terjadi stagflasi, inflasi menjadi hal yang perlu benar-benar diperhatikan. Terlebih, saat ini di masyarakat sudah terjadi lonjakan harga komoditas pangan, seperti cabai, bawang merah, telur hingga tomat.
"Pertumbuhan tadi dipengaruhi inflasi, Jabar penyumbang pembentukan inflasi ke nasional signifikan Selain DKI dan Jatim," imbuhnya.
"Kalau gak hati-hati Jabar nendang ke atas, nasional naik, mau gak mau direspon kebijakan makro, kalau ini terjadi akan berakibat berisiko ke perekonomian," tambahnya.
Menyoal dampak dari geopolitik antara Rusia-Ukraina, menurutnya Jawa Barat sangat terekspos secara langsung, utamanya menyoal suplai bahan baku dan energi.
"Perekonomian jabar ini yang terekspos oleh lonjakan di luar, ekspor kita [Jawa Barat] berkontribusi besar terhadap Indonesia, maka dengan adanya pembatasan distribusi suplai dari dua negara yang sedang memanas biaya produksi, biaya energi itu meningkatkan, dari sisi pertanian, konflik ukraina, selain pemasok pangan, juga pemasok pupuk, ini akan jadi masalah," imbuhnya.
Untuk itu, Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Jawa Barat perlu melakukan langkah kebijakan fiskal jangka pendek dengan tidak melupakan langkah jangka panjang.
Beberapa di antaranya yang paling memungkinkan dilakukan adalah mendukung saluran distribusi dengan baik. Pasalnya, Jawa Barat kata Herawanto memiliki surplus produksi komoditas pangan. Hanya saja, yang menjadi masalah rantai pasok tidak menguntungkan untuk Jawa Barat.
"Hasil produksi dari Jawa Barat itu dikirim ke luar Jawa Barat, memang di sisi lain petani mendapat harga yang bagus saat ada lonjakan harga, tapi kalau disalurkan untuk memenuhi dulu kebutuhan dalam Jawa Barat mungkin akan lebih menguntungkan untuk semua pihak," jelasnya.
Selain itu, solusi jangan pendek lainnya adalah dengan menggalakkan urban farming untuk komoditas mudah seperti cabai, tomat dan bawang.
"Ini yang paling murah dan mudah, bisa dilakukan sesegera mungkin," jelasnya. (K34)