Bisnis.com, CIREBON - Cirebon sejak lama dikenal sebagai daerah penghasil kerajinan batik. Salah satu daerah yang menjadi sentra kerajinan tersebut yakni Desa Ciwaringin di Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Berjarak 31 kilometer dari pusat Kota Cirebon, Sentra Batik Ciwaringin berada di bagian barat Kabupaten Cirebon yang berbatasan dengan Kabupaten Majalengka.
Kamis (4/11/2021) pagi, suasana di Desa Galagamba, Kecamatan Ciwaringin yang menjadi sentra batik ini tampak begitu lengang. Dari balik tembok sebagian rumah warga, ada beberapa orang tengah menorehkan canting di atas lembaran kain.
Satu dari beberapa perajin adalah Muhammad Suja'i. Pria berusia 47 tahun lulusan dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati ini, tampak terampil menorehkan canting pada setiap lembaran kain batik.
Suja'i menuturkan, kalau ia membatik sejak berusia belasan tahun. Alasan menggeluti keterampilan ini, sebagai salah satu untuk merawat dan melestarikan budaya dari nenek moyang di Ciwaringin.
Budaya membatik di Ciwaringin, dikenalkan oleh salah seorang pemuka agama Islam dari Pekalongan, Jawa Tengah. Semulanya, kerajinan tangan itu hanya dikenalkan kepada para santri di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin.
"Awalnya itu membatik dilakukan oleh santri sebagai tambahan keterampilan. Tetapi, seiring perkembangan zaman, membatik jadi kegiatan usaha sebagian orang di kampung ini. Berhubung saya juga pernah jadi santri, membatik jadi bentuk berterimakasih kepada orang tua dahulu," kata Suja'i pemilik galeri Batik Ciwaringin kepada Bisnis.com di Kecamatan Ciwaringin, Kamis (4/11/2021).
Sujai mengatakan, berbeda dengan Kawasan Batik Trusmi yang ada di Kecamatan Weru, pencinta batik tidak bakal menemukan motif kejayaan keraton mulai Mega Mendung, Singa Barong, Patran Keris, atau pun Paksi Naga Liman.
Namun, di tempatnya hanya akan menemukan motif sekar jagat, lasem, dan rajeg gusi. Motif yang ada di Batik Ciwaringin melambangkan kesederhanaan dan kondisi geografis daerah tersebut.
Perbedaan lainnya, batik dari Ciwaringin memanfaatkan pewarna alami dari limbah pohon mahoni, manggis, rambutan, mangga, hingga kulit durian.
Hasil dari penggunaan pewarna alami memiliki kualitas lebih bagus, karena pewarna alami tersebut memiliki manfaat untuk lingkungan dan pemanfaatan limbah pohon. "Warna alami lebih disukai, terutama pembeli dari luar negeri dan sejalan dengan kampanye go green," katanya.
Satu lembar batik yang dihasilkan oleh Suja'i dengan hasil warna bagus, bisa mencapai satu bulan. Namun, bila motif tidak terlalu rumit, bisa dikerjakan kurang dalam satu bulan.
Satu helai batik berbahan dasar katun yang dijual perajin batik di Desa Ciwaringin relatif lebih mahal dibandingkan dengan batik pewarna tekstil, dibanderol mulai Rp500.000 hingga Rp3 juta.
"Warna alami jadi favorit para pencinta batik. Beberapa negara seperti Jepang, Jerman, Malaysia, hingga Amerika menjadi langganan di tempat kami. Beberapa tokoh penting negara menggunakan kain ini saat menghadiri pertemuan penting," katanya.
Tersungkur Pagebluk Corona
Pagebluk corona menjadi kendala berat bagi perajin batik di Kecamatan Ciwaringin. Pemanfaatan media sosial sebagai sarana pemasaran, hingga peningkatan kualitas menjadi terobosan agar batik tetap lestari.
Pandemi Covid-19 yang menyerang selama hampir dua tahun ini, kadung membuat Suja'i gundah. Perajin batik di Desa Ciwaringin ini hanya bisa 'gigit jari' saat awal wabah melanda.
Di galeri serta lokasi produksi batik miliknya saat awal pandemi, tidak ditemukan adanya aktivitas para perajin batik. Seluruh perajin batik yang bekerja untuk galeri batik miliknya pun sudah di rumahkan sebelum pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
"Sama sekali tidak ada aktivitas. Bengkel produksi juga terkunci rapat, di galeri juga hanya sisa beberapa batik saja," kata Suja'i.
Sebelum pagebluk corona, Suja'i yang konsen memproduksi batik tulis ini mampu meraup omzet sebesar Rp7,5 juta setiap pekannya atau Rp30 juta per bulannya.
Terhitung sejak Februari 2020, omzet dari hasil produksi batik terus merosot, mulai dari April 2020 hingga Agustus 2020, omzet sebesar satu rupiah pun tidak mampu didapatkan olehnya. "Selama masa pahit itu, saya bertahan di nol rupiah. Waktu itu sangat Percuma memproduksi kalau tidak ada permintaan," katanya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya itu, ia terpaksa menggunakan dana tabungan dan berencana akan memulai usaha lain agar kebutuhan anggotanya keluarga tetap dapat dipenuhi.
Enggan berlarut-larut dengan keterpurukan itu, akhir 2020 ia pun tancap gas kembali memproduksi Batik Ciwaringin warisan dari nenek moyang di wilayah barat Kabupaten Cirebon.
Enggan berlarut-larut dalam keterpurukan itu, Suja'i mulai bergerak untuk meraih keuntungan dari batik tulis. Sejumlah batik tulis mulai ia titipkan di berbagai e-commerce dan beberapa pameran yang digelar pemerintah.
Sebelumnya, bersama perajin batik lainnya hanya mampu memajang di etalese kecil di depan rumah dan hanya dikeluarkan pada saat ada pembeli.
"Pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah, membuat Desa Ciwaringin jarang dikunjungi para pencinta batik. Tapi, bagaimana caranya batik ini harus dipasarkan, media sosial jadi solusi," katanya.
Benar saja, Suja'i mulai kebanjiran pesanan untuk memproduksi batik. Beberapa pameran besar yang diadakan oleh Bank Indonesia pun kerap memintanya untuk menjadi salah satu peserta dalam pameran usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Alhasil, lanjutnya, batiknya itu kini mulai menyasar generasi milenial. "Ada beberapa model Instagram yang menggunakan batik produk kami. Nyata, promosi lewat digital bisa hantarkan batik ke semua kalangan," katanya.
Dukungan Bank Indonesia
UMKM yang saat ini mulai menggeliat, memiliki peran penting dalam upaya pemulihan ekonomi nasional di tengah masa pagebluk pandemi Covid-19. Dukungan untuk transformasi digitalisasi dilakukan agar meningkatkan usaha rakyat tersebut.
Di bawah kendali Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia Cirebon, UMKM di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning) didorong untuk naik kelas.
Bagi Bank Indonesia, UMKM punya peran penting bagi perekonomian Indonesia, lantaran memberikan sumbangan signifikan, terutama dalam pembentukan produk domestik bruto dan penyerapan tenaga kerja.
UMKM pun dipercaya memiliki ketahanan ekonomi yang tinggi, sehingga mampu menopang bagi stabilitas sistem keuangan dan perekonomian.
Kepala KPw Bank Indonesia Cirebon Bakti Artanta menyebutkan, pengembangan UMKM masih dihadapkan berbagai kendala, salah satunya dari sisi akses keuangan.
Penyebab hal itu karena keterbatasan kemampuan UMKM untuk menghasilkan laporan keuangan yang menjadi alat utama lembaga keuangan menilai kelayakan kredit.
"Kami sebagai bank sentral berupaya memberikan kontribusi terbaik melalui kebijakan pengembangan UMKM dalam meningkatkan akses keuangan. Pengembangan UMKM oleh BI punya tujuan meningkatkan kapasitas dan kemampuan manajerial SDM serta inovasi dari UMKM,"kata Bakti.
Bank Indonesia menyusun peta jalan UMKM sebanyak tahapan yaitu, UMKM potensial, UMKM success/link to market and finance, UMKM go digital, serta UMKM go export. Sementara, untuk ruang lingkup pengembangan produk UMKM meliputi pengembangan produk volatile food, local economic development serta Wirausaha Bank Indonesia (WUBI).
Dalam percepatan akses, UMKM didorong dari akses financial, market, knowledge network, serta inovasi dan digitalisasi.
Kemudian dukungan infrastruktur dan kelembagaan, memberikan dampak bagi pembentukan ekosistem UMKM yang optimal, diantaranya melalui dukungan regulasi/kebijakan, keuangan inklusif, perlindungan konsumen, edukasi/literasi, model bisnis, monitoring, dan evaluasi serta penguatan kelembagaan dan sistem informasi.
Bakti mengatakan, dilakukan pula korporatisasi, penyempurnaan akurasi informasi dan data, optimalisasi koordinasi yang intensif antar kementerian/lembaga, peningkatan pemanfaatan inovasi dan teknologi, serta menciptakan ekosistem yang mendukung, merupakan bagian dari faktor pendorong keberhasilan pengembangan UMKM.
Saat ini ada 80 pelaku UMKM di wilayah Ciayumajakuning yang menjadi mitra serta binaan langsung Bank Indonesia Cirebon. Dari puluhan usaha rakyat tersebut, sebagian besar bergerak di bidang kriya, batik, dan olahan makanan.
Dalam upaya meningkatkan UMKM naik kelas, UMKM yang bergerak secara individu, digabungkan ke dalam suatu kelembagaan sehingga bisa memiliki daya saing dan memenuhi permintaaan pasar.
"UMKM yang bergerak secara individu ini sering kewalahan mendapatkan pesanan, kalau bisa disatukan menjadi kesatuan, menjadi kuat. Permintaaan sebanyak apapun, pasti sanggup dipenuhi," katanya.
Salah satu UMKM yang didorong oleh KPw Bank Indonesia Cirebon yaitu batik tulis di Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon.
Bahkan, lanjut Bakti, batik dari Ciwaringin itu pun saat ini sudah pada level nasional. Pada beberapa pameran UMKM pun, batik khas daerah Kabupaten Cirebon banyak dilirik, bahkan beberapa desainer ternama ingin menjadikan sebagai fesyen unggulan.
Selain itu, Bank Indonesia Cirebon mencatat, hingga Juni 2021, 138.000 UMKM di wilayah Ciayumajakuning sudah terhubung dengan alat pembayaran digital QR Code Indonesian Standard (QRIS).
Bakti menyebutkan, pelaku UMKM di wilayah tersebut sudah menyadari pentingnya bertransaksi secara digital di tengah masa pandemi Covid-19.
Rencana pengembangan Kawasan Metropolitan Rebana yang saat ini terus digaungkan, menurut Bakti, bakal mempercepat UMKM naik kelas.
Usaha rakyat ini diyakini mampu tumbuh bersama dengan industri skala besar yang saat ini mulai berekspansi ke wilayah Ciayumajakuning.
"Kami melihat metrpolitan rebana adalah pusat-pusat ekonomi, Majalengka punya BIJB, Subang punya Pelabuhan Patimban, Cirebon punya jalur darat dan laut. Itu semua Merupakan bagian yang bisa meningkatkan ekonomi daerah, salah satunya UMKM," kata Bakti.