Bisnis.com, BANDUNG - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengatur kriteria tertentu yang diwajibkan untuk memungut PPN atas pemanfaatan produk digital dari luar negeri melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dengan menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-12/PJ/2020.
Aturan lanjutan dari PMK-48/PMK.03/2020 ini telah ditetapkan di Jakarta pada 25 Juni 2020 dan akan mulai berlaku 1 Juli 2020.
Terkait dengan hal tersebut, Kepala Kanwil DJP Jawa Barat I Neilmaldrin Noor mengatakan, penunjukan sebagai pemungut PPN PMSE dilakukan jika telah memenuhi kriteria tertentu.
“Kriterianya, pelaku usaha perdagangan secara elektronik (e-commerce) ini memiliki nilai transaksi penjualan produk digital kepada pembeli di Indonesia melebihi Rp600 juta dalam setahun atau Rp50 juta sebulan,” kata Neil di Bandung, Selasa (30/06/2020).
Selain itu, penunjukan sebagai pemungut PPN juga dilakukan terhadap pelaku PMSE yang telah memiliki jumlah pengakses (traffic) di Indonesia melebihi 12 ribu dalam setahun atau seribu dalam satu bulan.
Neil menjelaskan, pemungut PPN PMSE ini adalah pelaku usaha atau penyelenggara PMSE yang ditunjuk melalui keputusan Dirjen Pajak untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN atas perdagangan produk digital (barang atau jasa) dari luar negeri, yang perdagangannya dilakukan di dalam negeri (daerah pabean) melalui PMSE.
Pelaku usaha yang belum ditunjuk tetapi memilih untuk ditunjuk, dapat menyampaikan pemberitahuan ke Dirjen Pajak. Pemberitahuan ini dapat disampaikan melalui sarana yang ditentukan dan/atau disediakan DJP.
Dengan kriteria tersebut, penunjukan pemungut PPN didasarkan semata-mata atas besaran nilai transaksi dengan pembeli di Indonesia atau jumlah traffic dari Indonesia tanpa memandang domisili atau yurisdiksi tempat kedudukan pelaku usaha.
Neil menambahkan, PPN menganut prinsip destinasi, artinya pengenaan pajak dilakukan dimana barang dan/atau jasa tersebut dikonsumsi. “Nah, karena menganut prinsip destinasi, maka tarif PPN untuk ekspor itu nol persen, sebaliknya untuk impor sepuluh persen,” imbuhnya.
Menurut Neil, pemungut PPN PMSE ini berada di luar negeri dan sebelumnya tidak diwajibkan memungut PPN di Indonesia. “Padahal mereka berjualan dan mendapatkan konsumen dari Indonesia. Model bisnis ini mirip impor barang. Hanya saja, karena barangnya tidak berwujud, tidak ada petugas yang mengawasi pembayaran PPN-nya. Berbeda dengan impor barang berwujud, yang saat impor akan diwajibkan membayar PPN oleh petugas Bea dan Cukai,” jelasnya.
Oleh karena itu, pemerintah menerbitkan PMK-48/PMK/2020 dan PER-12/PJ/2020 ini agar semua pelaku usaha yang telah ditunjuk sebagai pemungut PPN wajib mulai melakukan pemungutan PPN pada bulan berikutnya setelah keputusan penunjukan diterbitkan.
“Namun, pemungutan PPN tidak berlaku terhadap barang atau jasa yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dikecualikan atau dibebaskan dari pengenaan PPN,” ujar Neil.
Neil menambahkan, bagi pengusaha kena pajak yang melakukan pembelian barang dan jasa digital untuk kegiatan usaha dapat melakukan pengkreditan pajak masukan, sepanjang bukti pungut PPN memenuhi syarat sebagai dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak.
“Bukti pungut PPN tersebut dapat berupa commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen sejenis lainnya, yang menyebutkan pemungutan PPN dan telah dilakukan pembayaran, dan mencantumkan nama dan NPWP, atau alamat email yang terdaftar di sistem DJP,” ujarnya.