Bisnis.com,BANDUNG—Pemerintah Provinsi Jawa Barat mewaspadai gejolak dalam proses pembahasan Upah Minimum Kabupaten/Kota [UMK] 2019 pasca penetapan Upah Minimum Provinsi [UMP] 2019.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Tranmigrasi Jabar Ferry Sofwan Arief mengatakan UMP 2019 sejatinya tidak langsung dipakai secara menyeluruh di 27 kabupaten/kota karena ini hanya menjadi batasan bawah bagi pembahasan UMK 2019.
“Tentu yang ramainya UMK nanti. Harapannya UMK yang diusulkan dewan pengupahan kabupaten/kota tinggal disahkan saja oleh Gubernur, tapi ini bisa jadi panjang manakala daerah menetapkan UMK tidak 8,03%,” katanya pada Bisnis, Rabu (31/10).
Menurutnya berkaca pada 2017 lalu, seluruh daerah menetapkan kenaikan upah sesuai dengan angka yang ditetapkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja.
Ferry mengaku dinamika bisa saja terjadi, mengingat dalam rapat terakhir dewan pengupahan provinsi membahas UMP 2019, perwakilan pekerja tidak menyetujui angka 8,03%. “Karena memakai PP 78 2015, mereka berkehendak pakai angka yang lain,” tuturnya.
Pemprov sendiri menetapkan UMP 2019 dari angka lama Rp1,544,360,67 naik menjadi Rp1,668,372,83. Ferry sendiri menilai kenaikan upah tetap akan memunculkan upaya penangguhan dari kalangan industri. “Pak Menteri mungkin melihatnya di Indonesia [penangguhan turun], tapi di Jabar upah setiap tahun itu sudah tinggi,” katanya.
Dia mencatat kemungkinan upaya penangguhan kembali datang dari industri tekstil dan garmen. Menurutnya pekan lalu dirinya diundang oleh Apindo Bogor yang menghendaki upah khusus garmen mengingat beratnya mengikuti kenaikan UMK.
“Jadi penangguhan akan lumayan banyak, meski sebetulnya pengusaha tetap membayarkan upah namun tidak penuh dan dicicil hingga akhir tahun,” ujarnya,