Dalam waktu dekat kita akan memasuki bulan istimewa bagi umat Islam yaitu Ramadan. Selain umat Islam yang melaksanakan ibadah puasa, masyarakat lintas agama juga sangat terpengaruh baik langsung maupun tidak langsung dengan Ramadan. Terutama di wilayah yang mayoritas beragama Islam seperti Jawa Barat. Salah satu pengaruh yang biasanya timbul saat Ramadan adalah konsumsi masyarakat yang cenderung meningkat.
Jika menyangkut konsumsi masyarakat maka erat kaitannya dengan suplai kebutuhan pokok. Pasokan dan suplai secara langsung akan berimbas terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok. Kenaikan harga inilah yang akan memicu inflasi jika tidak diantisipasi dan ditangani dengan tepat.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 jumlah penduduk beragama Islam sebanyak 207,1 juta jiwa di Indonesia atau 87,18 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Sementara di Jawa Barat sendiri jumlah penduduk beragama Islam mencapai 41,7 juta jiwa atau 97 persen dari total jumlah penduduk Jawa Barat. Dari data di atas tidak heran jika ketika Ramadhan tiba, diperlukan antisipasi dan kebijakan yang tepat dari pemerintah terkait situasi perekonomian khususnya di Jawa Barat.
Terkait hari raya keagamaan,khususnya Ramadhan biasanya ada 3 (tiga) hal yang menyebabkan inflasi, yaitu:
a. Over Demand (Kelebihan Permintaan)
b. Reaksi Masyarakat Terhadap Kenaikan Harga
c. Sikap Produsen terhadap Informasi Kenaikan Harga
Dari ketiga faktor diatas yang sangat berpengaruh terhadap besaran inflasi di Ramadhan adalah Over Demand atau kelebihan permintaan. Inilah yang disebut Psikologis Inflasi. Mengapa dikatakan demikian? Over Demand atau kelebihan permintaan, terjadi akibat masyarakat membelanjakan uang nya serentak dalam waktu yang hampir bersamaan dan jalam jumlah yang cukup besar. Akibatnya sebanyak apapun pasar menyediakan pasokan tetap tidak akan terpenuhi karena ada titik dimana, masyarakat belanja secara “rush”.
Hal ini akan dimanfaatkan oleh pasar dalam hal ini pedagang untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Ketakutan akan tidak kebagian bahan pokok menjadikan sebagian masyarakat melakukan penyetokan dengan belanja sekaligus untuk beberapa hari bahkan mungkin untuk lebih dari satu pekan. Akibat adanya “rush” maka produsen pun kewalahan untuk menyuplai karena kecepatan proses produksi tidak bisa mengikuti kecepatan belanja konsumen. Di sisi lain pedagang pun akan mulai menahan stok barang nya karena mereka berpikir untuk meraih keuntungan yang lebih besar lagi.
Menurut data dari BPS, di Jawa Barat inflasi saat Ramadan selalu lebih tinggi dibanding bulan-bulan lainnya. Ramadan 2015 inflasi mencapai 0,79 persen saat itu bertepatan dengan bulan Juli. Ramadan 2016 inflasi mencapai 0,72 persen di Juni dan 0,47 persen di Juli. Ramadan 2017 inflasi mencapai 0,88 persen di Juni. Komoditi yang paling tinggi menyumbang inflasi saat Ramadan 2015 antara lain daging ayam ras, telur ayam ras, bawang merah, angkutan antar kota, daging sapi, tarif kereta api. Tahun 2016 yang menyumbang inflasi tertinggi antara lain daging ayam ras, telur ayam ras, kentang, beras, angkutan antar kota, cabe rawit, daging sapi. Tahun 2017 yang menyumbang inflasi tertinggi antara lain angkutan antar kota, tarif listrik, bawang merah, daging ayam ras, telur ayam ras, kentang.
Maka tidak cukup dengan melakukan kebijakan yang sesuai dengan hukum ekonomi saja seperti menjaga suplai kebutuhan pokok masyarakat atau kebijakan menahan tarif yag diatur oleh pemerintah (administered price). Misal dengan tidak menaikkan tarif listrik, bensin dan lainnya.
Faktor pengaruh inflasi di Ramadan ini lebih karena faktor psikologis. Pemerintah perlu mengambil langkah yang sifatnya mempengaruhi psikologis masyarakat. Sebut saja beberapa waktu lalu Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Jawa Barat yang dimotori oleh Bank Indonesia mengundang Forum Silaturahmi Ulama Se-Jawa Barat. Hal ini dilakukan agar para ulama bisa membantu menenangkan umat dengan memberikan pemahaman yang tepat terkait konsumsi selama Ramadan. Dengan kultur masyarakat Jawa Barat yang agamis, diharapkan peran serta ulama bisa maksimal diterima oleh masyarakat. Pemerintah tidak mungkin melarang masyarakat untuk belanja, tapi pemerintah melalui ulama bisa menyampaikan agar berbelanjalah secara wajar tidak berlebihan. Jikapun harus ada peningkatan belanja, itu lebih karena anjuran untuk berbagi dengan sesama agar mempunyai nilai ibadah. Karena Ramadan sejatinya bulan peningkatan ibadah bukan konsumsi makanan. Dengan demikian diharapkan di Jawa Barat selama Ramadan perekonomian berjalan lancar, inflasi tetap terkendali dan yang paling penting kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat tetap terjaga.
Penulis :
Muhamad Rikiansyah, S.Ikom
Humas & Statistisi di Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat