Bisnis.com, PANGANDARAN- Jalur kereta Banjar-Pangandaran merupakan proyek bergengsi pada masanya. Pembangunan jalur dimulai pada 1911, tuntas hingga 1921.
Hingga kini, jalur tersebut merupakan satu-satunya perjalanan kereta dengan rute yang lengkap, membentang dari pegunungan hingga terdampar di tepi lautan, Samudera Hindia. Jalur ini dianggap sebagai karya monumental perusahaan kereta api negara Hindia Belanda (Staatsspoorwegen/SS).
Proses pembangunan sempat tertunda selama dua tahun, sehingga total pekerjaan memakan waktu delapan tahun. Untuk membangun sebanyak 21 tempat perhentian, termasuk 5 stasiun besar, empat terowongan, dan enam jembatan panjang, SS merogoh kocek sebanyak 9,58juta gulden.
Total jalur cabang Banjar-Cijulang sepanjang 82,2 kilometer. Alhasil, rata-rata biaya pembangunan mencapai 116ribu gulden per kilometer, lebih mahal dibandingkan jalur Jakarta-Bogor yang hanya menelan 50ribu gulden per kilometer pada saat pembangunan.
Namun sayangnya, harta warisan bagi dunia perkeretaapian nasional itu, kini terlunta dan terlupakan. Hampir seluruh bangunan stasiun tak terawat, jembatan baja rusak parah, jejak rel pun telah jarang dijumpai.
Selama dua hari, dimulai pada Selasa (20/3/2018), PT Kereta Api Indonesia (Persero) bersama Yayasan Kereta Anak Bangsa (YKAB) melakukan napak tilas jalur Banjar-Cijulang tersebut. Perjalanan dimulai dari Stasiun Banjar, Jawa Barat.
PENELUSURAN
Awal penelusuran dimulai dari mengelilingi Stasiun Banjar untuk mencari jejak persambungan rel ke rute Pangandaran-Cijulang. Di sini, terdapat sisa bukti jalur rel menuju Cijulang keberadaan turning table yakni instalasi untuk memutar lokomotif.
Instalasi tersebut kini terletak di belakang arah selatan Stasiun Banjar, bentuk instalasi kolam berbentuk lingkaran yang di atasnya terpampang rel sebagai rotasi lokomotif. Tak jauh dari situ, masih terdapat menara air yang menjulang.
Lokasi berikutnya adalah Stasiun Banjarsari, berjarak 18 kilometer arah selatan Stasiun Banjar. Stasiun Banjarsari merupakan salah satu stasiun besar yang kini terletak di Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Banjar.
Kini bangunan stasiun dipagari pemukiman warga, sehingga dari Jalan Raya Banjar-Pangandaran hanya tampak atap genteng.
Tembok bangunan itupun sebagian besar sudah rompal, bekas pintu loket masih berdiri tegak, akan tetapi sudah terlampau lapuk. Sekeliling bangunan telah ditumbuhi rerimbun pohon dan rumput liar, kanan kiri bangunan telah berdiri banyak pemukiman warga.
Berjarak 25 kilometer dari sana, terdapat sisa bangunan Stasiun Kalipucang. Mirip dengan nasib stasisun sebelumnya, untuk menemukan lokasi bangunan, harus menempuh lebih dulu jalan pemukiman milik warga.
Bahkan, bangunan stasiun kini sudah digarap jadi sebuah rumah yang memanfaatkan ruang dalam stasiun sebagai halaman muka. Di stasiun inipun, masih dapat ditemukan bekas menara air, puing bekas peron, serta sambungan rel.
Melanjutkan perjalanan ke Selatan, kemudian terdapat obyek menarik lain yaitu Terowongan Hendrik, warga lokal akrab menyebutnya berdasarkan nama desa, Warung Bungur. Panjang terowongan mencapai 105 meter, terpendek di antara tiga terowongan lainnya yaitu Terowongan Philips, Terowongan Juliana, dan Terowongan Wilhemina.
Meski sudah tak lagi megah selayaknya dulu, Terowongan Hendrik masih cukup terjaga karena digunakan sebagai jalan desa. Selepas mulut terowongan, terdapat Jembatan Cipamotan (Cikacepit) yang memiliki panjang 290 meter.
Pemandangan alam terhampar indah di bentang jembatan. Jembatan Cipamotan mengangkangi ngarai yang cukup dalam. Rangka baja jembatan yang berada di ketinggian lebih dari 30 meter dari dasar ngarai itu tak lagi selurusan, besi pondasi telah banyak yang hilang.
Babak berikutnya, perjalanan melintasi pesisir Selatan wilayah Provinsi Jawa Barat. Menyusur garis pantai Pangandaran, hingga menyerong kembali ke arah barat, masih berdiri kokoh bangunan Stasiun Cijulang, yang kini berdekatan dengan Bandara Nusa Wiru.
Di sinilah ujung sebelah Selatan jalur cabang Banjar-Cijulang. Selain Cijulang, masih terdapat Stasiun Parigi yang musnah tanpa jejak.
Stasiun Cijulang kondisi hampir serupa dengan dua stasiun sebelumnya, hanya saja lokasi di tepi jalan raya, membuatnya agak terawasi. Posisi loket penumpang dan loket barang masih pada posisi semula, atap bangunan telah berhamburan.
Tak jauh dari bangunan, terdapat pondasi bekas gudang serta sambungan rel yang melintang di jalan raya. Bekas keberadaan menara air untuk mengisi lokomotif uap hanya tersisa pondasi bata merah belaka.
Berjarak 22 kilometer memutar ke Utara, masih ada Stasiun Pangandaran. Bangunan stasiun ini terbilang lebih utuh dibandingkan tiga stasiun besar lainnya.
Terdapat pemugaran pada 1949 yang dilakukan pemerintah, merekondisi bangunan yang runtuh pasca meletusnya perang kemerdekaan. Di stasiun ini, masih tertera ukiran tembok nama stasiun.
Setelah itu, perjalanan dilanjutkan kembali menuju Desa Pamotan. Dua terowongan besar, bernama Juliana dan Wilhemina bersembunyi di semak perbukitan desa tersebut.
Posisi dua terowongan sebenarnya sisi seberang dari lokasi Terowongan Hendrik yang disambungkan dengan Jembatan Cikacepit. Nama lain Terowongan Juliana adalah Terowongan Bengkok, karena konstruksi yang melengkung tajam.
Panjang terowongan mencapai 147 meter. Di balik lumut dan jamur akibat lembab, interior terowongan masih tampak jelas merupakan lapisan semen yang apik dan tebal.
Sedangkan Terowongan Wilhemina yang berada sebelah selatan Juliana mempunyai konstruksi paling mengagumkan. Panjang terowongan mencapai 1,116 kilometer, dinding terowongan memanfaatkan kontur alam berupa batu gamping dan kars, tanpa dilapis semen.
Untuk melintas terowongan dari mulut Utara ke Selatan, membutuhkan waktu 20 menit dengan jalan kaki. Guna memangkas waktu pengerjaan, SS mencoba metode pembangunan yang dilakukan secara bersama dari dua sisi terowongan, hingga bertemu di titik tengah terowongan, termasuk teknik tercanggih pada masa itu.