JAKARTA--Hoax menjadi perbincangan hangat di media massa maupun media sosial belakangan ini karena dianggap meresahkan publik dengan informasi yang tidak bisa dipastikan kebenarannya.
Istilah hoax, kabar bohong, menurut Lynda Walsh dalam buku "Sins Against Science", merupakan istilah dalam bahasa Inggris yang masuk sejak era industri, diperkirakan pertama kali muncul pada 1808.
Asal kata "hoax" diyakini ada sejak ratusan tahun sebelumnya, yakni "hocus" dari mantra "hocus pocus", frasa yang kerap disebut oleh pesulap, serupa "sim salabim".
Alexander Boese dalam "Museum of Hoaxes" mencatat hoax pertama yang dipublikasikan adalah almanak (penanggalan) palsu yang dibuat oleh Isaac Bickerstaff alias Jonathan Swift pada 1709.
Saat itu, ia meramalkan kematian astrolog John Partridge. Agar meyakinkan, ia bahkan membuat obituari palsu tentang Partridge pada hari yang diramal sebagai hari kematiannya.
Swift mengarang informasi tersebut untuk mempermalukan Partridge di mata umum. Partridge pun berhenti membuat almanak astrologi hingga enam tahun setelah hoax beredar.
Penyair aliran romantik Amerika Serikat, Edgar Allan Poe, pun diduga pernah membuat enam hoax sepanjang hidupnya, seperti informasi dari hoaxes.org yang dikelola Boese.
Poe, sekitar 1829-1831, menulis di koran lokal Baltimore akan ada orang yang meloncat dari Phoenix Shot Tower pada pagi hari 1 April. Orang itu ingin mencoba mesin terbang buatannya, dan akan melayang ke Lazaretto Point Lighthouse yang berjarak 2,5 mil.
Saat itu, Phoenix Shot Tower, yang baru dibangun, merupakan bangunan tertinggi di AS. Berita orang terbang di gedung tertinggi itu menarik begitu banyak peminat, orang-orang berkumpul di bawah gedung untuk menyaksikannya.
Tapi, yang ditunggu tidak kunjung hadir. Kerumunan orang kesal dan bubar begitu menyadari hari itu 1 April. Poe lalu meminta maaf di koran sore, menyatakan orang itu tidak bisa hadir karena salah satu sayapnya basah.
Salah satu hoax yang sering beredar adalah ancaman asteroid menghantam bumi sehingga menyebabkan kiamat. NASA, pada 2015 lalu, membantah rumor asteroid jatuh dan mengakibatkan kerusakan besar di bumi.
Menurut mereka, asteroid yang berpotensi berbahaya memiliki 0,01 persen berdampak pada bumi selama 100 tahun ke depan.
"Kalau ada objek besar yang akan merusak pada September, tentu kami sudah bertindak sekarang," kata Manajer Objek Dekat Bumi NASA, Paul Chodas, pada Agustus 2015 lalu.
Di Indonesia, saat ini kepolisian sedang melacak penyebar berita bohong mengenai jutaan pekerja asal China di Indonesia. Presiden Joko Widodo sebelumnya membantah kabar jumlah pekerja China di Indonesia yang mencapai puluhan juta orang. Ia menyatakan ada 21 ribu pekerja asal China di Indonesia. (baca juga: cara mengenali hoax)
KENAPA HOAX MENYEBAR?
Direktur Institute of Cultural Capital di University of Liverpool, Simeon Yates, dalam tulisan "'Fake News'- Why People Believe It and What Can Be Done to Counter It" yang dimuat di world.edu, menyebut ada fenomena gelembung, atau bubbles, dalam penggunaan media sosial.
Pengguna media sosial cenderung berinteraksi dengan orang yang memiliki ketertarikan yang sama dengan diri sendiri. Dikaji dari studi kelas sosial, gelembung media sosial tersebut mencerminkan gelembung "offline" sehari-hari.
Kelompok tersebut, kembali ke model lama, juga bertumpu pada opini pemimpin, mereka yang memiliki pengaruh di jejaring sosial. Kabar bohong yang beredar di media sosial, menjadi besar ketika diambil oleh situs atau pelaku terkemuka yang memiliki banyak pengikut.
Kecepatan dan sifat media sosial yang mudah untuk dibagikan, shareability berperan dalam penyebaran berita. (baca juga: Pemerintah diharapkan beri sanksi untuk berita hoax)
Sebagai mana ditekankan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, menjadi sulit untuk membedakan yang palsu dari fakta, sudah banyak bukti bahwa butuh perjuangan untuk menghadapi ini. Media digital membuat lebih sulit untuk membedakan kebenaran konten. Berita online lebih sulit untuk dibedakan.
Masalah berikutnya adalah bahwa mencabut "berita palsu" di media sosial saat ini kurang didukung oleh teknologi. Meskipun tulisan dapat dihapus, ini adalah tindakan pasif, kurang bermakna daripada pencabutan satu paragraf di surat kabar. Agar memberi dampak, yang diperlukan tidak hanya menghapus posting-an tetapi menyoroti dan mengharuskan pengguna untuk melihat dan menyadari bahwa berita yang dimaksud sebagai "berita palsu".
Jadi apakah berita palsu adalah manifestasi dari masa media digital dan sosial, tampaknya mungkin bahwa media sosial dapat memperkuat penyebaran informasi yang salah. (baca juga: Strategi Dewan Pers perangi media abal-abal dan berita hoax)
Ini bukan "persyaratan" teknologi tapi pilihan - oleh desainer sistem dan regulator mereka (di mana mereka berada). Dan media mainstream mungkin telah mencoreng reputasi mereka sendiri melalui liputan berita "palsu", membuka pintu ke sumber berita lainnya.
Pesan nyata dari sini adalah, tanyakan pada diri sendiri, seberapa sering Anda memeriksa fakta cerita sebelum menyebarkannya?