Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kalangan Masyarakat Desak Pasal 481 & 483 RUU KUHP Dihapus

Sejumlah kelompok masyarakat meminta penghapusan Pasal 481 dan 483 dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh AIDS Healthcare Foundation (AHF) Indonesia, di Bandung, Rabu (28/12).

Bisnis.com, BANDUNG--Sejumlah kelompok masyarakat meminta penghapusan Pasal 481 dan 483 dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh AIDS Healthcare Foundation (AHF) Indonesia, di Bandung, Rabu (28/12).

Dalam diskusi bertajuk “Revisi KUHP Mengancam Program HIV/AIDS ?” ini, sebagian peserta menilai isi dari kedua pasal mengenai kontrasepsi itu kontraproduktif terhadap program Keluarga Berencana serta program kesehatan masyarakat lainnya, seperti kesehatan reproduksi serta pencegahan penularan HIV/AIDS di Indonesia.

Sebelumnya, keinginan menghapus kedua pasal dalam Rancangan KUHP tersebut gencar disuarakan kelompok masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Yayasan Cipta Cara Padu (CCP), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).

Riki Febrian, Country Program Manager AHF Indonesia, menjelaskan pihaknya mendukung penuh penghapusan pasal 481 dan 483 dari Rancangan KUHP yang saat ini dibahas di Komisi III DPR RI.

Menurutnya, selain mengancam keberlangsungan program KB, kedua pasal itu juga berpotensi mengancam berbagai program kesehatan masyarakat seperti pencegahan penularan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS.

“Bagaimana pun, kita melihat dengan jelas tingginya peran masyarakat dalam program kesehatan. Masyarakat yang menjadi kader kesehatan, atau yang aktif di komunitas dan LSM sangat besar perannya dalam mensosialisasikan alat kontrasepsi atau kondom sebagai pencegah penularan penyakit seksual dan HIV dalam hubungan seks berisiko,”ujarnya melalui rilis.

Riki menambahkan, jika mereka dipidana karena memberikan penyuluhan tentang mencegah penularan IMS dan HIV melalui penggunaan alat kontrasepsi, maka upaya pengendalian penyakit akan semakin berat.

“Jika semuanya diserahkan kepada petugas yang berwenang atau pemerintah sesuai pasal 483, dikhawatirkan jumlah tenaganya tidak mencukupi,” tambahnya.

Diskusi yang dihadiri puluhan aktivis LSM dan kader kesehatan di Jawa Barat ini menghadirkan pembicara Anggara Suwahju peneliti dari ICJR, dan Frenia Nababan dari PKBI.

Dalam paparannya, Frenia Nababan mengungkapkan pasal 481 dan 483 sudah tidak sesuai kebutuhan dan  cenderung  over kriminalisasi. Ketentuan ini sudah ada dalam KUHP saat ini, namun secara sosiologis sudah tidak digunakan,  sehingga sebaiknya dihilangkan.

“Kedua pasal ini juga bertentangan dengan peraturan lain, misalnya UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang antara lain menyatakan setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dan merupakan tanggung jawab semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat,” ungkapnya.

Frenia juga mencontohkan, keberadaan kedua pasal ini dapat mengancam keselamatan masyarakat dalam program penanggulangan IMS. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), sumber pengetahuan masyarakat yang utama disediakan oleh sektor swasta seperti televisi, radio, majalah, dan surat kabar.

Sementara peran tenaga kesehatan dalam pemberian informasi terkait kesehatan reproduksi hanya 17 % dan HIV dan AIDS hanya 8 % .

Dengan demikian, lanjutnya, peran masyarakat seperti yang dilakukan kader kesehatan sangat diperlukan. Hingga tahun 2014 lalu, kader kesehatan yang tercatat di Kementerian Kesehatan mencapai 569.477 kader, termasuk tokoh masyarakat dan tokoh yang terlatih.

Seperti diketahui upaya merevisi KUHP saat ini sedang dilakukan pemerintah dan DPR RI. Sejumlah pasal dalam Rancangan KUHP, khususnya yang menyangkut kontrasepsi, dikhawatirkan kontraproduktif terhadap program  sosialisasi kesehatan reproduksi dan bahkan pengendalian HIV/AIDS di Indonesia.

Dalam pasal 481 revisi KUHP itu dicantumkan bahwa "Setiap orang yang tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk mencegah kehamilan, secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan atau secara terang-terangan dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan tersebut, dipidana dengan pidana denda paling banyak sesuai kategori I".

Ancaman pidana kategori I dalam Rancangan KUHP ini termasuk dalam tindak pidana ringan, berupa sanksi denda sebesar Rp 10 juta.

Sementara itu, mereka yang berhak memberikan informasi mengenai kontrasepsi diatur di dalam Pasal 483, yaitu petugas yang berwenang. Dengan kata lain, kelompok masyarakat seperti kader kesehatan atau aktivis LSM yang biasa bergerak di bidang penyuluhan kesehatan reproduksi atau HIV/AIDS, tidak diberikan hak sebagaimana diatur pasal tersebut.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper