Bisnis.com, BANDUNG - Dalam merancang di bisnis dekorasi rumah berbahan dasar bambu di Amygdala Bamboo, Founder dan Owner Amygdala Bamboo Harry Mawardi mencoba menerapkan metode emphatical design. Hal ini dilakukan dengan menempatkan diri sebagai pengrajin, konsumen, dan desainer.
“Metode ini melihat apa yang bisa dilakukan pengrajin, teknik apa yang pengrajin bisa dengan tidak memaksakan sebuah keahlian yang sebenarnya pengrajin tidak perlu atau mematikan keahlian mereka yang sebelumnya,” ujar Harry kepada Bisnis.
Hampir sekitar dua tahun lamanya, Amygdala telah bekerja sama dengan pengrajin bambu Sangkar Burung di Selaawi, Limbangan, Garut. Adapun teknik sangkar burung ini coba diterapkan di produk-produk Amygdala, seperti lampu.
“Produk pertamanya lampu, saya tidak memaksakan skill baru ke pengrajin lokal ini, tapi memanfaatkan keahlian pengrajin yang coba diterapkan ke produk yang berbeda,” ujarnya.
Harry menambahkan teknik ini coba ditawarkan di beberapa kompetisi yang akhirnya terpilih item lampu tersebut dipilih sebagai yang terbaik dan dikirim ke Milan, Itali, untuk dikembangkan desain produknya.
“Berawal dari lampu ini telah memicu orang untuk bertanya untuk membuat produk yang lain,” ujarnya.
Harry mengungkapkan pihaknya banyak melakukan uji pasar dari percobaan-percobaan prototyping, untuk menemukan teknik mana yang paling pas dalam menjembatani kemampuan pengrajin dengan permintaan pasar.
Saat ini, Amygdala menggunakan dua teknik untuk membuat produknya yaitu teknik sangkar burung dan teknik coiling atau teknik bambu yang dlilit.
“Jadi di tim Amygdala sendiri ada craftsman yang sudah jadi bagian tim, namanya Pak Utang. Tim pengrajin sendiri sekarang untuk yang membantu di workshopnya ada 7 orang tapi ketika produksi lagi padat bisa sampai 10 sampai 15 orang, dari pengrajin di Limbangan Garut,” ujarnya.
Saat ini sistem yang digunakan Amygdala dengan pengrajin di Limbangan, Garut ini yaitu seperti membeli produk kerajinan langsung.
“Kami order, kemudian bayar sesuai pengeluaran mereka, sehingga sistemnya seperti based on prestasi, kalau mereka bisa produksi banyak dan terus bisa sesuai tepat waktu, uangnya akan cepat datang dan sampai ke pengrajin sedangkan jika sistem gaji, ketika orderan banyak, gajinya tetap tidak meningkat,” ujarnya.
Harry mengungkapkan konsep bisnis ini akan menjadi semacam pilot project untuk sebuah desa, untuk diangkat dan disejahterakan yang akan diterapkan di desa lain dan pengrajin lain.
“Rencananya, jika memungkinkan akhir tahun ini Amygdala akan melakukan tur ke Jawa Barat dan Jawa Tengah untuk melihat pengrajin-pengrajin lain, sambil membawa pengrajin-pengrajin dari Garut juga, untuk transfer knowledge antar pengrajin,” jelasnya.
Ke depannya Amygdala dan pengrajinnya bercita-cita ingin memiliki kebun bambu sendiri untuk lebih berkelanjutan (sustainable).
“Seperti orang Jepang, manufaktur yang langsing, jadi tempat bahan dan tempat produksi semua dekat di satu area, jadi cost efeective,” ujarnya.
Saat ini, selain ada 7 pengrajin lokal, Amygdala telah memiliki tim yang terdiri dari 5 orang untuk menangani berbagai bidang seperti branding, marketing, admin, dan asisten desainer. (k5)