BANDUNG - Lalap Sunda sudah dikenal sejak abad ke-10 Masehi dan disebut dalam Prasasti Taji bertanda tahun 901 Masehi.
"Dalam Prasasti Taji tahun 901 Masehi, disebut sebuah nama sajian atau makanan bernama 'Kuluban Sunda' yang artinya lalap," kata pengamat sejarah Fadly Rahman dari Fakultas Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran Bandung, Minggu (1/2/2015).
Dia menjelaskan pula bahwa lalap Sunda tidak hanya berupa dedaunan seperti daun singkong dan pepaya serta selada tapi juga umbi-umbian seperti kunyit dan kencur.
Jenis makanan lalap lain yang dikonsumsi masyarakat Sunda tahun 1930-an, menurut dia, adalah mentimun, leunca, kenikir, honje atau combrang serta buah nangka dan petai.
Selain menyebut soal lalap Sunda, Prasasti Taji juga memuat tulisan tentang hidangan lain yang disediakan untuk para hadirin, yang antara lain dimasak dari 57 karung beras, enam kerbau, 100 ayam, dan makanan yang diasinkan, serta berbagai macam tuak dari jnu, bunga campaga, dan bunga pandan.
"Berbagai makanan terdapat pada peninggalan sumber-sumber tulisan seperti prasasti dan naskah di Jawa Tengah dan Jawa Timur sejak abad ke-10 menyebut-nyebut berbagai nama makanan yang hingga kini masih eksis," katanya.
Jenis makanan yang disebut dalam sumber-sumber tertulis pada abad ke-10, menurut dia, antara lain sambel, pecel, pindang, rarawwan (rawon), rurujak (rujak), dan kurupuk, minuman dawet, wajik dan dodol.
"Kekhasan ini berhubungan erat dengan wacana pencitraan makanan melalui pengakuan budaya etniknya. Bila ditelusuri jejak kultur historisnya, pengakuan khas hidangan etnik tertentu dalam bisnis restoran akan menjadi basis citra cita rasa apa yang mesti dipertahankan," katanya