Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KABAR UMUM: Tak ada uang, nyawa melayang

BANDUNG (bisnis-jabar.com): Kabar umum Jawa Barat yang dimuat sejumlah koran regional diantaranya kekeringan di Karawang yang memaksa warga di dua kecamatan harus antre untuk mengambil air keruh, serta pasangan suami istri Martin Ismail, 27, dan Susan Kania, 29, warga Cimahi yang putrinya, Nisza Ismail, 8 bulan, meningggal akibat tidak mendapatkan pelayanan prima dari rumah sakit. berikut ulasannya:

BANDUNG (bisnis-jabar.com): Kabar umum Jawa Barat yang dimuat sejumlah koran regional diantaranya kekeringan di Karawang yang memaksa warga di dua kecamatan harus antre untuk mengambil air keruh, serta pasangan suami istri Martin Ismail, 27, dan Susan Kania, 29, warga Cimahi yang putrinya, Nisza Ismail, 8 bulan, meningggal akibat tidak mendapatkan pelayanan prima dari rumah sakit. berikut ulasannya: Diskriminasi pelayanan RS: Kenyataan pahit dialami pasangan suami istri Martin Ismail, 27, dan Susan Kania, 29, warga Jalan Pesantren, Gang Madsari No 50 RT 01/08, Kelurahan Cibabat, Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi. Keterbatasan kemampuan keuangan telah membuat putri kedua mereka, Nisza Ismail, 8 bulan, tidak mendapatkan pelayanan prima dari rumah sakit. Nisza yang sakit demam dan kejang-kejang akhirnya meninggal setelah 18 jam berada di Rumah Sakit Mitra Anugerah Lestari (MAL). Martin mengatakan, Nisza mengalami demam tinggi sejak Kamis (9/10) yang berakibat step keesokan harinya. Setelah mencoba mengobatinya sendiri dan tak berhasil,akhirnya Martin dan keluarga memutuskan membawa putrinya ke Rumah Sakit Mitra Kasih di Jalan Amir Machmud sekitar pukul 13.00 WIB. Namun karena biayanya terlalu besar, Martin memilih ke Rumah Sakit Handayani. Malang nasib Nisza, dengan kondisi demam tinggi dan step, Nisza tidak diterima rumah sakit tersebut. Pihak RS Handayani enggan menerima Nisza dengan alasan tidak menerima pasien bayi karena keterbatasan peralatan. Martin kemudian mencoba Rumah Sakit MAL di Jalan Cibaligo, Kota Cimahi. Akhirnya, sekitar pukul 14.00, Nisza tiba di Rumah Sakit MAL dan langsung dibawa ke ruang Unit Gawat Darurat (UGD). Setibanya di ruang UGD, ternyata Nisza tidak langsung memperoleh perawatan. Menurut Martin, tim medis enggan memberikan penanganan langsung lantaran dia belum menyelesaikan prosedur administrasi yang berlaku di rumah sakit tersebut.Martin diwajibkan membayar biaya administrasi terlebih dahulu sebesar Rp500.000. Setelah tiga jam menunggu di ruang UGD dan Martin membayar biaya administrasi sebesar Rp150.000,tim medis akhirnya memberikan pertolongan, namun itu pun sebatas memberikan bantuan cairan infus. “Mereka tetap enggan menangani Nisza secara intensif.Alasannya, sayabelummelunasibiaya administrasi,”kata Martin. Tiga jam kemudian,setelah biaya administrasi dilunasi,akhirnya Nisza dipindah ke ruang perawatan.Ketika itu menunjuk pukul 20.00.Namun begitu, Nisza tetap saja tidak ditangani intensif,saat itu pihak rumah sakit beralasan, dokter spesialis anak tidak masuk kerja hari itu. “Anak kami hanya ditangani dokter jaga,” ujarnya yang sehari-hari bekerja sebagai penjual gorengan. Menurut Martin,dokter yang memeriksa kondisi Nisza saat itu memberitahunya anaknya terindikasi menderita penyakit infeksi lambung dan harus segera dilakukan penyedotan. Martin mengatakan,dokter itu memintanya menebus resep dokter berupa obat dan selang sedot untuk membersihkan lambung Nisza. Namun, saat itu dia tidak memiliki uang untuk menebus resep yang diberikan dokter tersebut. Dia mencoba meyakinkan pihak rumah sakit untuk membayar resep tersebut keesokan harinya, namun permintaan Martin diabaikan.Karena obat dan selang itu sangat diperlukan Nisza, dengan sedikit menekan dan memberikan jaminan berupa surat tanda nomor kendaraan (STNK) motornya, akhirnya pihak rumah sakit bersedia melayani permintaan Martin dan tidak lama kemudian, Nisza pun dipasangi selang. “Pihak rumah sakit saat itu sempat mengatakan, ada uang maka ada obat,” tutur Martin menirukan ucapan salah seorang petugas administrasi. Ternyata, kata dia, kondisi Nisza tidak berubah menjadi lebih baik. Pasalnya, setelah memperoleh penanganan, tim medis tidak mengeceknya kembali hingga sekitar pukul 04.00 pagi, Nisza kembali mengalami step yang disertai kejang-kejang. Dokter jaga kembali meminta Martin menebus resep penurun panas dan obat kejang- kejang. Saat itu, Martin mencoba menjaminkan telepon selulernya dengan harapan pihak rumah sakit bersedia menyediakan obat yang diperlukan Nisza.Namun, pihak rumah sakit menolaknya dengan alasan harga obat tidak sebanding dengan barang tersebut. Martin mengaku akhirnya kembali mencoba bantuan pihak keluarga.Karena tak memiliki pulsa dan kendaraan,dia rela berjalan kaki dari rumah sakit ke rumahnya yang jauhnya sekitar 5 kilometer. Setibanya kembali di rumah sakit, Martin dan keluarga sempat berdebat panjang meminta pihak rumah sakit memberikan keringanan. Setelah dijanjikan akan dibayar empat jam kemudian,akhirnya pihak rumah sakit memberikan obat “Petugas mengatakan obat yang dibutuhkan mahal, namun setelah dicek, ternyata harganya hanya Rp70.000,”katanya. Setelah diberikan obat,kondisi Nisza malah bertambah buruk. Tim medis menyarankan Nisza segera dirawat intensif di ruang perawatan UGD. Meskipun begitu,Nisza baru dipindah ke ruang perawatan UGD pukul 08.00 pagi atau 18 jam sejak pertama kali Nisza tiba di ruang UGD. Pemindahan Nisza dilakukan tim medis setelah Martin menebus biaya obat dan peralatan yang dibutuhkan Niszaselamadiruangperawatan UGD sebesar Rp217.000. Dua jam kemudian, tibatiba tim medis menyatakan tak sanggup lagi menangani Nisza. Martin menduga, selama dua jam di ruang perawatan, tim medis tidak mengambil langkah penanganan karena pemasangan peralatan di tubuh Nisza baru terlihat dilakukan sekitar pukul 10.30.Akhirnya, pukul 11.00, bayi mungil berkulit putih yang lahir 5 Februari 2011 itu meninggal dunia. “Jenazah Nisza ditahan selama setengah jam, bahkan ruangannya dikunci, kami tak bisa melihat jenazah anak kami, alasan mereka selalu uang dan uang,”sesalnya. Dia mengungkapkan, setelah menjanjikan kembali akan melunasi seluruh biaya perawatan sebesar Rp1.300.000, barulah jenazah Nisza dapat dibawa pulang, itu pun menggunakan angkot lantaran pihak rumah sakit tetap meminta uang sebesar Rp200.000 jika ingin menggunakan ambulans. Meski begitu, Martin tidak akan menuntut tanggung jawab pihak rumah sakit.Dia berharap, apa yang dialaminya tidak terjadi pada orang lain. “Yang saya ungkapkan adalah fakta yang kami alami sendiri, saya hanya berharap tidak terjadi lagi kasus serupa karena menurut informasi yang saya terima, di rumah sakit itu, kasus seperti yang saya alami terjadi berkali-kali,”bebernya. Direktur RS MAL Zakaria Ansyori menjelaskan, sudah berusaha maksimal menangani Nisza. Dia menegaskan tidak pernah membeda-bedakan pasien dan selalu berupaya memberikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh pasien. Ansyori enggan dikatakan menelantarkan Nisza. Sekalipun tak ada biaya, kata Ansyori, penanganan tetap dilakukan sesuai hasil uji lab yang dilakukan di RS Mitra Kasih. “Pasien bisa masuk ruang UGD dan langsung diperiksa.Pasien saat itu disarankan untuk dirawat inap setelah konsul ke dokter anak. Kami memberikan pula penjelasan penanganan yang akan diberikan,”katanya. Terkait biaya administrasi, sesuai prosedur yang ditetapkan rumah sakit, diakuinya pasienharusmenyiapkanbiaya administrasi sebesar Rp500.000 untuk kelas 3B. Kebijakan tersebut sengaja diberlakukan, mengingat RS MAL merupakan RS swasta yang mengandalkan pemasukan dari pasien.(Seputar Indonesia Jabar) Antre Air Keruh: Dua kecamatan di Kabupaten Karawang, yaitu Kecamatan Pangkalan dan Tegalwaru hingga kini masih mengalami kesulitan air bersih. Sulitnya mendapatkan air bersih dialami ribuan kepala keluarga (KK) sejak tiga tahun lalu. Kondisi tersebut dipicu kemarau berkepanjangan dan belum turunnya hujan hingga menyebabkan sungai dan sumur warga mengering. "Ya sudah kira-kira tiga bulan kami harus mengantre untuk mendapatkan air dari mata air Citaman ini. Air Sungai Cigeuntis yang biasanya kami gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga mengering akibat kemarau," ucap Kosasih (45), warga Desa Taman Mekar, Kec. Tegalwaru, Minggu (23/10). Dari dua kecamatan tersebut, beberapa desa yang mengalami kesulitan air, di antaranya Desa Taman Sari, Taman Mekar, dan Mekar Buana. "Selama kami kesulitan air pun hingga kini belum ada bantuan dari pemerintah. Katanya PDAM Pangkalan juga mengalami kesulitan air, karena air bakunya mengambil dari Sungai Cigeuntis," katanya. Sejak memasuki musim kemarau, kata Kosasih, selain air PDAM yang jarang mengalir. Sumur-sumur warga juga mengering. Sungai Cigeuntis yang biasa menjadi andalan warga pun kini surut. Warga terpaksa mengambil air dari mata air Citaman, Desa Taman Sari yang kondisinya keruh dan tak layak pakai. Dalam kondisi kekurangan air bersih, ratusan warga pun menggantungkan keperluan mencuci, mandi, maupun untuk minum dari mata air Citaman. Padahal, Warna airnya keruh akibat tercemar deterjen yang digunakan mencuci. Sementara itu, Kepala Cabang PDAM Tirta Tarum di Pangkalan, Abdul Karim menuturkan PDAM di Pangkalan dan Tegal Waru juga mengalami kesulitan pasokan air, karena selama ini sumber PDAM berasal dari sungai di sekitar Pangkalan. "Kalau sungainya menyusut otomatis sumber air kami juga sedikit dan aliran air ke masyarakat juga sedikit," ujarnya. Karim mengatakan PDAM bersedia memberikan bantuan air bersih ke desa-desa. Namun, jika untuk memenuhi kebutuhan seluruh warga setiap harinya tidak mampu. Pasalnya, selain berkurangnya sumber air. Armada pengangkut air juga hanya punya dua unit. (Pikiran Rakyat) Limbah B3 Renggut Korban: Tumpukan barang bukti (BB) limbah batu bara di pinggir Jalan Raya Parakamuncang, Kp. Cikandang, Desa Cikahuripan, Kec. Cimanggung. Kab. Sumedang kembali meminta korban. Sebelumnya, limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) ini melukai Asep (50), seorang warga. Kini giliran bocah berusia 4 tahun yang mengalami luka bakar akibat terperosok ke tempat yang sama. Bahkan nasib Ade Dian (4) ini tergolong parah. Warga Kp. Cibodas, RT 04/RW 05, Desa Cikahuripan yang mengalami luka bakar dari betis hingga ujung jari kedua kakinya ini, hingga Minggu (23/10) tak mampu berjalan. Kedua kakinya luka bakar dan kulitnya terkelupas. Belum ada pihak yang bertanggung jawab terkait peristiwa yang menimpa warga dari golongan tidak mampu ini. Namun jajaran Muspika Cimanggung telah turun tangan menanganinya. Limbah B3 tersebut merupakan BB yang kasusnya ditangani PN Sumedang dalam proses banding dan kasasi. Peristiwa yang dialami Ade Dian terjadi Selasa (17/10) pukul 11.00. Diberitakan, BB limbah B3 yang kini ditangani PN Sumedang tersebut menyeret PT Kahatek (Cecep Gunawan) dan tiga Direksi PT Habindo (pemanfaat limbah batu bara), Faizal, Abdullah Zamal, dan Samam. Dalam kasus limbah yang dibuang di Parakanmuncang tersebut, PT Kahatek dituntut jaksa penuntut umum (PJU) denda Rp 150 juta dan clean up 1.000 ton limbah batu bara. Sedangkan Faizal dituntut 1,6 tahun denda Rp 50 juta, Abdulah Jamal dituntut 1 tahun denda Rp 15 juta, dan Saman dituntut 6 bulan denda Rp 15 juta. Setelah pembacaan tuntutan, Ketua Majelis Hakim memutuskan, PT Kahatek (Cecep Gunawan) dibebaskan dari semua tuntutan. Sementara Faisal divonis 2 tahun denda Rp 150 juta, Abdulah Zamal dan Saman masing-masing divonis 1 tahun denda Rp 15 juta. Atas putusan bebas terhadap PT Kahatek ini, JPU melakukan kasasi dan ketiga Direksi PT Habindo memutuskan banding. Hingga saat ini, proses hukumnya masih bergulir.(Galamedia)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Fajar Sidik
Editor : Fajar Sidik

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper