Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Waspada, praktik jual beli SNI oleh asing!

Oleh: Rudi Arif

Oleh: Rudi Arif JAKARTA: Pemerintah diminta untuk mewaspadai praktik jual beli standar nasional Indonesia (SNI) antara produsen lokal dan eksportir asing yang tidak hanya merugikan produsen dalam negeri pemilik SNI itu sendiri melainkan juga merusak iklim investasi dan daya saing nasional. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan saat ini muncul sinyalemen penyalahgunaan SNI dari perusahaan lokal dengan menjualnya kepada produsen produk sejenis di luar negeri. Dengan memanfaatkan SNI tersebut, katanya, perusahaan pembeli bisa menggunakan stampel SNI palsu pada produk yang diekspornya ke Indonesia. “Perusahaan mengajukan SNI itu biasanya untuk hasil produksinya. Sebenarnya kalau dia ajukan SNI terus dijual ke pihak lain, perusahaan itu aneh dan rugi. Akan tetapi itu baru sinyalemen, tetapi kemungkinan penyalahgunaan itu cukup besar. Saya khawatirnya SNI itu dijualnya ke China, dan mereka tinggal stampel saja dan barang masuk ke sini,” ujarnya hari ini. Ade mengatakan pemerintah perlu meningkatkan pengawasan terhadap SNI yang dinilai masih kurang. Bahkan, menurut dia, pemerintah bisa mengubah sistem penandaan SNI tersebut dengan sistem barcode sehingga bisa dibaca dengan mudah antara produk ber-SNI asli dan palsu. “Dengan sistem barcode, produk bisa dengan mudah dideteksi karena bisa dilacak siapa produsennya secara tepat. Kalau barangnya impor, tidak mungkin tercantum nama perusahaan Indonesia di dalamnya,” katanya. Dia juga mengatakan saat ini SNI masih terkesan mengejar produk-produk buatan dalam negeri dibandingkan dengan produk impor itu sendiri. Padahal, penerapan SNI itu salah satunya menjadi strategi pemberian hambatan non tarif bagi masuknya produk impor, selain memastikan tingkat keamanan penggunaan produk bagi konsumen dalam negeri. Untuk sektor pertekstilan, katanya, SNI tidak akan menimbulkan masalah terutama untuk produk-produk pakaian militer yang sudah terbiasa dengan standar tinggi, karena umumnya ditujukan untuk ekspor ke Jepang dan Eropa. “Akan tetapi masalahnya buat UKM pasti terkena karena tidak mungkin biayai SNI yang mahal dan mengurusnya juga lama.” Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Gabungan Elektronik Yeane Keet mengatakan sebenarnya terbuka bagi perusahaan asing untuk mendapatkan SNI agar produknya bisa diterima di pasar domestik. SNI, katanya, ditujukan untuk mencegah masuknya barang-barang illegal dan non standar ke pasar domestik. Untuk mendapatkan sertifikat SNI tersebut, katanya, perusahaan biasanya diharuskan menjalankan prosedur pengujian di dalam negeri, bahkan peninjauan langsung pejabat terkait ke lokasi produksi di negara asal. “Memang dengan ini perusahaan tersebut harus investasi. Kualifikasi harus dites dengan prosedur kita dan juga di negara masing-masing. Tidak boleh dapat SNI dari praktik jual beli.” Menurut Yeane, keberadaan SNI sebenarnya sangat membantu industri karena dengan kebijakan itu ada hambatan bagi masuknya barang impor. Namun, tuturnya, industri dan konsumen domestik tidak perlu risau apabila terdapat barang impor dari China atau negara lain apabila sudah mengantongi SNI. “Kalau ada barang China masuk dan sudah ber-SNI tidak masalah, asalkan itu harus dicek terlebih dahulu,” katanya. Terkait dengan pengawasan, dia mengatakan berdasarkan laporan dari lapangan menunjukkan adanya kehati-hatian pihak retailer dalam menjual produk, terkait ada dan tidaknya SNI. “Artinya pengawasan sudak cukup ketat. Akan tetapi, mungkin boleh ditambah [diperketat] lagi. Selain itu, ada baiknya pemerintah mempercepat proses pengurusan dari 6—10 bulan menjadi 1—2 bulan saja. Dan untuk itu saat ini memang masih terkendala laboratorium uji yang sedikit,” katanya. Ketika dikonfirmasi, Kepala Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim dan Mutu Industri Kemenperin Arryanto Sagala mengatakan tidak mungkin ada praktik jual beli SNI, apalagi melibatkan produk-produk impor. Menurut dia, SNI tersebut diberikan untuk setiap perusahaan yang mengajukan dan pemerintah melakukan pengujian baik di laboratorium uji nasional, maupun langsung ke lokasi pabrik dengan dana dari pihak pemohon. “Tidak ada namanya jual beli SNI karena untuk mendapatkan SNI itu produk sudah diuji, baik di laboratorium uji nasional maupun langsung ke pabriknya, termasuk dari perusahaan asing. Penguji datang langsung ke pabrik dengan biaya dari pihak pemohon SNI,” katanya. Terkait dengan isu penjualan modul SNI, dia mengatakan hal itu bukan masalah. Bahkan, katanya, dengan begitu justru produsen asing bisa mematuhi standar yang ada dan berlaku di Indonesia. “Akan tetapi saya tidak tahu persis apa benar Badan Standarisasi Nasional [BSN] menjual modul SNI-nya itu atau memberikannya secara gratis,” katanya. Sementara itu, terkait dengan pengawasan Arryanto mengatakan pengawasan dilakukan pada dua hal, yaitu barang yang beredar di pasaran dan barang di lokasi produksi. Untuk barang yang beredar di pasaran, katanya, pemerintah c.q. kementerian perdagangan melakukan pengintaian, sedangkan untuk barang di lokasi produksi pengawasan dilakukan oleh masih-masing direktorat jenderal. “Itu sudah berlangsung dengan baik,” tegasnya.(hh)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Newswire
Editor : Newswire

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper