Bisnis.com, KUNINGAN - Sebanyak 42 pelajar tingkat sekolah menengah pertama (SMP) di Kabupaten Kuningan mulai mengikuti pelatihan bela negara di barak militer milik Kodim 0615/Kuningan, Senin (19/5/2025).
Program ini merupakan inisiatif pemerintah daerah sebagai respons atas maraknya perilaku menyimpang di kalangan remaja, seperti tawuran dan perang sarung.
Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar mengatakan pelatihan bela negara bukan bertujuan membentuk militer anak-anak, melainkan sebagai langkah pendidikan karakter berbasis nasionalisme dan tanggung jawab sosial.
“Kami ingin anak-anak ini tumbuh menjadi pribadi yang kuat secara mental, memiliki akhlak, dan mampu menghadapi tantangan zaman tanpa kehilangan jati diri,” ujar Dian dalam sambutannya.
Dian juga menegaskan, pelatihan tidak menerapkan sistem keras atau militeristik. Sebaliknya, pendekatan yang digunakan adalah pembinaan disiplin dengan kasih sayang dan pemahaman nilai-nilai luhur kebangsaan.
Menurut Dian, program ini merupakan bagian dari instruksi Gubernur Jawa Barat untuk menekan potensi konflik sosial di kalangan pelajar. Pelatihan bela negara menjadi alternatif pendidikan nonformal yang diarahkan untuk membendung fenomena kekerasan pelajar.
Baca Juga
"Tidak ada kekerasan dalam pelatihan ini. Yang kami tanamkan adalah semangat kebersamaan, gotong royong, dan disiplin sebagai fondasi membangun masa depan mereka,” ujar Dian.
“Kami menindaklanjuti arahan pak gubernur beberapa waktu lalu sempat terjadi insiden perang sarung antarpelajar, dan ini menjadi alarm penting bagi kami,” imbuhnya.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat di bawah kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi memicu kontroversi dengan meluncurkan program pembinaan karakter remaja melalui pelatihan semi-militer.
Ratusan pelajar tingkat SMP dan SMA yang dinilai memiliki perilaku menyimpang seperti kecanduan gawai, perundungan, merokok, atau terlibat tawuran dikirim ke barak-barak militer.
Di sana, mereka mengikuti rutinitas disiplin ketat selama dua pekan—mulai dari bangun sebelum subuh, pelatihan fisik, baris-berbaris, hingga sesi konseling spiritual dan pendidikan formal.
Pemerintah menyebut ini sebagai bentuk ikhtiar menyelamatkan generasi muda dari kemerosotan moral. Namun, sejumlah lembaga perlindungan anak menilai pendekatan ini terlalu militeristik dan berpotensi melanggar hak anak.
Meski demikian, Dedi Mulyadi tetap bersikukuh melanjutkan program tersebut, bahkan mengajak para pengkritik untuk turun langsung membina remaja yang dianggap bermasalah.
Respons orang tua beragam—sebagian mengklaim anak mereka menjadi lebih taat dan tertib, sementara lainnya menyoroti kurangnya pendekatan psikologis dalam proses seleksi dan pembinaan.