Bisnis.com, BANDUNG — 3,85 juta orang atau 7,46% penduduk Jawa Barat atau hingga Maret 2024 masih berada di bawah garis kemiskinan (GK).
Jumlah ini menurun 0,16% atau 39,93 ribu orang terhadap angka kemiskinan pada Maret 2023 dan turun 204,94 ribu orang terhadap angka kemiskinan pada September 2022.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Baret Marsudijono mengatakan komoditas makanan menyumbang 74,68% terhadap GK.
Ada lima komoditas makanan yang menjadi penyumbang terbesar terhadap GK di Jawa Barat.
Untuk komoditas makanan di daerah perkotaan adalah beras sebesar 22,94%, diikuti rokok kretek filter sebesar 12,22%, telur ayam ras sebesar 5,25%, daging ayam ras sebesar 4,95%, serta kopi bubuk dan kopi instan (sachet) sebesar 3,05%.
Sedangkan lima komoditas makanan penyumbang terbesar GK di daerah perdesaan adalah beras sebesar 27,86%, rokok kretek filter sebesar 9,25%, daging ayam ras sebesar 4,37%, telur ayam ras sebesar 4,35%, serta kopi bubuk dan kopi instan (sachet) sebesar 2,95%.
Baca Juga
Adapun lima komoditas nonmakanan yang memberi sumbangan terbesar terhadap GK di daerah perkotaan adalah perumahan yaitu sebesar 9,35%, bensin sebesar 3,49%, listrik sebesar 2,71%, pendidikan sebesar 1,74% dan perlengkapan mandi sebesar 1,21%.
Sedangkan lima komoditas nonmakanan penyumbang terbesar GK di daerah perdesaan secara berturut-turut adalah perumahan sebesar 9,81%, bensin sebesar 3,16%, listrik sebesar 1,57%, perlengkapan mandi sebesar 1,12% dan pendidikan sebesar 0,98%.
Meski secara presentase angka penduduk miskin di Jawa Barat baik di perkotaan maupun perdesaan menurun, namun dari segi jumlah penduduk miskin pada periode Maret 2023-Marest 2024 terjadi peningkatan penduduk miskin di perkotaan hingga 7,28 ribu orang.
“Tapi di perdesaan jumlah penduduk miskinnya berkurang 47,21 ribu orang,” ungkap dia dalam Berita Resmi Statistik (BRS), di Kota Bandung, Senin (1/7/2024).
Selain itu, ia juga merilis indeks kedalaman kemiskinan yang mengukur jarak antara penduduk yang berada di bawah GK, yakni penduduk yang mendekati GK dengan yang terbawah.
“Hasilnya kita mengalami kenaikan dari 1,16% pada maret 2023 menjadi 1,21% di Maret 2024,” ungkapnya.
Ia menilai, semakin banyak penduduk yang berada di bawah GK yang berjarak cukup jauh dengan indikator GK itu sendiri, maka akan semakin sulit untuk menurunkan angka kesimikinan.
“Butuh effort tinggi, karena jaraknya menuju garis kemiskinan masih terlalu jauh,” ungkapnya.
Selain itu, ada juga indeks keparahan kemiskinan yakni untuk mengukur variasi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
“Variasinya ternyata semakin melebar, berarti jaraknya semakin tinggi, variasinya semakin melebar,” ungkapnya.