Bisnis.com, BANDUNG -- Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh, menjadi falsafah lokal yang masih dipegang teguh oleh suku Sunda hingga saat ini. "Silih" dalam falsafah Sunda, memiliki arti saling, artinya dilakukan secara aktif timbal balik.
Sehingga perpaduan kata silih dengan masing-masing kata asah, asih, asuh artinya semua kelompok masyarakat saling merespon tindakan yang menjadi pondasi utama Suku Sunda dalam bermasyarakat.
Budayawan Sunda Prof. Ganjar Kurnia menjelaskan kata asah berarti menajamkan, mengandung makna nilai epistemologi bahwa kemampuan mengasah akal, rasa, dan karsa dalam diri manusia akan menghasilkan ilmu pengetahuan dalam kehidupannya.
"Konsep dasar silih asah adalah saling menajamkan diri, saling menambah ilmu pengetahuan, memperluas wawasan," ungkap dia, belum lama ini.
Kemudian Silih Asih, artinya saling mengasihi antar masyarakat Sunda. Dimana asih ini mengandung rasa saling menyayangi dan melindungi agar antar individu bisa hidup berdampingan. Lalu, arti dari silih asuh ialah saling mengayomi, membina, membimbing, menjaga, mengarahkan antar masyarakat.
Menurut Ganjar, nilai falsafah masyarakat Sunda ini sudah diterapkan oleh PT BTPN Syariah Tbk yang mengedepankan Silih Asih Silih Asah dan Silih Asuh dalam menjalankan bisnisnya.
Salah satu contoh yang tengah dilakukan untuk mewujudkan falsafah kebudayaan yang masih dipegang teguh oleh masyarakat adalah program pertemuan rutin sentra (PRS) dengan nasabah yang diadopsi dari budaya 'ngariung' atau berkumpul.
Baca Juga
"Ini kan budaya kebanyakan orang Sunda, mengutamakan berkumpul," jelas dia.
Menurut Ganjar yang juga Ketua Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda (PDP BS) Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung ini, langkah BTPN Syariah menerapkan model bisnis seperti ini merupakan langkah yang baik.
"Prinsip itu membuat suasana kehidupan masyarakat di Jawa Barat dipenuhi dengan rasa keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, selalu saling tolong menolong, dan kekeluargaan," katanya.
Terlebih, saat ini kaum hawa memang menjadi target operasi rentenir yang menawarkan kemudahan dalam menyalurkan pinjaman. Padahal di pedesaan adanya lintah darat ini sangat mengganggu roda perekonomian.
"Makanya dengan sistem ini diharapakan masyarakat bisa mengakses permodalan di pihak yang resmi seperi BTPN Syariah ini," jelasnya.
Sehingga, PRS ini sebagai wadah utama ibu-ibu nasabah yang berkumpul setiap dua minggu sekali, untuk melakukan transaksi keuangan serta angsuran dan mengikuti program pelatihan usaha.
Ganjar juga menilai program ini dapat menjadi solusi untuk membantu masyarakat keluar dari status ekonomi prasejahtera dengan cara kolektif, khas dengan ciri masyarakat Sunda bermasyarakat.
Ganjar juga menjelaskan terkait karakteristik masyarakat Sunda yang berbeda-beda di tiap wilayah Jawa Barat, sehingga tidak bisa melakukan pendekatan yang sama dalam merangkul mereka.
"Misanya ada yang harus lewat tokoh masyarakat, jawara, ajengan, kyai bahkan dukun. Ini menjadi tantangan petugas BTPN Syariah di lapangan, harus mencari informasi mengenai karakteristik di wilayah tersebut," ujarnya.
Pimpinan Wilayah Jawa Barat BTPN Syariah Andi Setio menjelaskan BTPN Syariah dan Jawa Barat memiliki hubungan erat sudah sejak lama.
Pasalnya, BTPN Syariah sudah melayani masyarakat inklusi secara langsung di Jawa Barat sejak 2011. Bahkan, Jawa Barat tercatat sebagai provinsi pertama yang dilayani oleh BTPN Syariah.
"Jumlah nasabah BTPN Syariah di Jawa Barat kurang lebih 774 ribu per kuartal III 2023 yang berasal dari 27 kabupaten/kota," ungkapnya.
Kaum hawa yang menjadi nasabahnya di Jawa Barat memiliki usaha yang cukup beragam, mulai dari pertanian, makanan ringan, perdagangan, penyewaan villa, berkebun, dan toko kelontong.
"Jumlah pembiayaan yang di salurkan BTPN Syariah hingga kuartal III 2023 kurang lebih Rp2,83 triliun kepada ibu-ibu nasabah yang tergabung dalam kurang lebih 60.046 sentra di Jawa Barat," jelasnya.
Andi menjelaskan, memang bisnis model BTPN Syariah menyesuaikan dengan karakteristik masyarakat pada umumnya. Salah satunya adalah dengan melibatkan kekuatan kolektif agar saat ada satu yang terhambat, anggota lainnya bisa membantu.
Dengan 'ngariung', banyak manfaat yang didapat oleh para ibu-ibu, seperti akses pembiayaan, akses pengetahuan melalui pelatihan dan pengembangan usaha yang mampu meningkatkan usaha ibu-ibu.
Ini memang menjadi replikasi nilai falsafah Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh. Selain itu ibu-ibu juga mendapatkan rasa solidaritas dari anggota yang terbentuk sehingga saling mendukung dan menolong satu sama lain.
"Ketika satu nasabah sedang kesulitan, maka nasabah lain akan saling membantu. Dengan demikian, akan timbul rasa saling mengasuh, mengasihi, dan mengasah sesuai prinsip masyarakat di Jawa Barat," tandasnya.