Bisnis.com, BANDUNG--Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jabar berupaya mengoptimalisasi potensi pendapatan dari dana bagi hasil (DBH) sumber daya alam.
Harmonisasi dengan sejumlah stakeholder terus dilakukan berkaitan dengan disahkannya Undang-undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) setahun silam.
Kepala Bapenda Jabar Dedi Taufik mengatakan dialog dan diskusi menjadi bagian penting sebelum optimalisasi dilakukan. Penyamaan persepsi tidak bisa dilepaskan begitu saja saat aturan baru ditetapkan.
“Pada prinsipnya setiap potensi pendapatan daerah harus dimaksimalkan. Termasuk yang bersumber dari Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam,” ucap Dedi Taufik, Jumat (29/9/2023).
“Beberapa kali kami melakukan diskusi, termasuk FGD dengan kementerian terkait. Pekan lalu berlangsung dengan narasumber dari Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat,” ia melanjutkan.
Ada banyak hal yang dibahas saat FGD tersebur. Namun, satu yang pasti adalah harmonisasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Baca Juga
“Tentu harmonisasi penting. Pemahaman mengenai kebijakan baru kan harus berproses. Karena (pendapatan) ini muaranya kan untuk pembangunan multi sektor, baik itu infrastruktur, pendidikan, kesehatan,” terang Dedi Taufik.
“Kita tahu bahwa UU HKPD dirancang tujuannya memperkuat desentralisasi fiskal untuk pemerataan. Diskusi dan pembahasan mengenai hal ini penting dilakukan sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan, solusinya dicari, kebijakan pemerintah pusat dan daerah sinkron, masyarakat bisa merasakan manfaatnya,” pungkas Dedi Taufik.
Diketahui, UU HKPD ini ada dalam rangka menguatkan sinergi keuangan pusat dan daerah, terutama dalam hal perbaikan desentralisasi fiskal. UU ini menggantikan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU 33/2004).
Di dalam UU HKPD, salah satu yang diperbarui adalah rancangan transfer ke daerah (TKD). Salah satunya melalui desain ulang DBH. Alokasi dana untuk daerah didasarkan pada persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada daerah penghasil.
Tujuannya, mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah dan daerah, termasuk pemerataan kepada daerah nonpenghasil meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. DBH terdiri dari beberapa komponen, yakni pajak (PPh, PBB, dan cukai hasil tembakau) dan sumber daya alam/SDA (migas, minerba, panas bumi, kehutanan, perikanan).
Dari alokasi TKD pada APBN 2023 yang mencapai Rp814,72 triliun, anggaran sebesar Rp136,26 triliun dialokasikan untuk DBH. Persentase pembagiannya sudah diatur dalam UU HKPD secara proporosional.
Mulai tahun 2023, pengalokasian DBH Migas didasarkan pada UU HKPD dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 233/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Otsus.
Proporsi pembagian DBH minyak bumi untuk pusat ditetapkan sebesar 84,5 persen dan pemda sebesar 15,5 persen. Persentase DBH gas bumi untuk pusat sebesar 69,5 persen dan pemda sebesar 30,5 persen. Sementara migas otsus ditetapkan untuk pusat sebesar 30,0 persen dan pemda sebesar 70 persen.
Data dasar penghitungan alokasi DBH Migas berasal dari data lifting yang diperoleh dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Untuk penghitungan alokasi DBH minyak bumi diperlukan data lifting per daerah, per kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), dan per jenis minyak. Sedangkan untuk gas bumi, dibutuhkan data lifting per daerah dan per KKKS.
Setelah penghitungan lifting, kemudian dilanjutkan dengan penghitungan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Data PNBP disediakan oleh Kementerian Keuangan.
Di sisi lain, kondisi eksternal seperti lifting migas, harga minyak, harga komoditas, termasuk nilai tukar sangat mempengaruhi penerimaan DBH SDA, belum lagi dengan pergerakan harga minyak (ICP) yang fluktuatif dalam 15 tahun terakhir. Mitigasi risiko terhadap naik turunnya penerimaan DBH patut diperhatikan. Penajaman belanja perlu terus dilakukan.
Mitigasi lainnya, pemerintah telah membuat skema penyaluran DBH dengan membentuk rekening khusus di Bank Indonesia atas nama pemda yang dikelola pemerintah. Apabila daerah memiliki saldo kas tinggi, maka sebagian DBH akan ditampung dalam rekening khusus pemda tersebut, dan dapat disalurkan sesuai kebutuhan pemda atau dapat diinvestasikan atas persetujuan pemda.