Bisnis.com, KUNINGAN - Hidup Komala, 57 tahun, seperti kopi yang ia tanam. Pengalaman manis hingga pahit bergantian menjadi cerita. Mulai dari meraup untung berlipat, jatuh terpuruk hingga gigih memberdayakan petani kopi di Kabupaten Kuningan.
Sabtu (23/9/2023), wajah penuh senyum Komala menyapa di kediamannya di Dusun Endang Jumaga, Desa Cibeureum, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Komala atau yang akrap disapa Pak Kokom ini selalu merendah. Padahal, ia bukan orang sembarangan dalam dunia perkopian Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning). Dia menampung hingga 1,2 ton kopi sebelum dipasok ke Bandung atau Jakarta. Kedai kopi, hotel, kafe di Ciayumajakuning turut merasakan kopi dari Komala.
Komala tidak sekadar bertutur. Perbincangan dengan saya ditemani oleh suara alat penggilingan kopi. Asalnya dari dapur yang menyatu dengan ruang tamu berukuran sekitar 7x8 meter. Ruang tamu itu juga menjadi tempat ia memarken produk kopi robusta yang diberi merek Ratu Asih.
“Kopi bagi saya bukan soal keuntungan saja. Saya ingin semangat menanam kopi di Desa Cibeureum, juga Kuningan tetap hidup,” ujar Komala.
Tak lama setelah mesin penggiling kopi berhenti, Komala langsung menyuguhkan kopi robusta buatannya. Kopi robusta yang diolah menggunakan teknik V60 menjadi andalan untuk disuguhkan kepada setiap tamu di kediamannya.
Baca Juga
V60 robusta yang disuguhkan sejalan dengan kisah hidupnya. Ternyata, Komala pernah merasakan pahit juga karena kopi.
Rugi
Ingatan Komala kembali pada 1987 saat dia selesai menuntaskan pendidikan sekolah menengah atas (SMA) di Kecamatan Cilimus. Ia bersama sejumlah rekan-rekan satu kampung bergegas untuk segera merantau ke Jakarta. Kebiasaan merantau sering dilakukan warga Desa Cibeureum sejak orde lama.
Tujuh tahun meneban di Jakarta, ternyata tidak mengubah kehidupan Komala. Segala jenis pekerjaan pernah ia lakukan. Pada 1994, ia memutuskan kembali ke Desa Cibeureum. Suasana hening kawasan kaki Gunung Ciremai memantapkan Komala untuk meninggalkan ibu kota yang sebelumnya digadang-gadang oleh ia sebagai tempat merajut asa.
“Hidup di Jakarta sepertinya bukan keputusan baik. Selain itu, saya kembali juga memang harus menikah dengan Euis Sarida yang sampai sekarang menjadi istri saya,” ujar Komala sambil berkelakar.
Kembali ke Desa Cibeureum, Komala mengaku kaget melihat sejumlah warga yang bertrangmigrasi ke Lampung sejak 1985 kembali ke kampung halaman. Kedatangan mantan transmigran ini semakin menguatkan ia kalau kopi adalah sebuah harapan baru.
Dengan modal tanah warisan leluhur, Komala menanam ratusan pohon kopi yang tersebar di Desa Cibeureum. “Saya menanam kopi jenis robusta, karena kondisi geografis desa ini berada di ketinggian 500-600 mdpl yang artinya sangat cocok untuk kopi robusta,” terang Komala.
Tergiur keuntungan besar, cepat, dan mudah dari kopi robusta, ia memulai dengan keluarganya dan tidak mengajak warga lainnya. Pertimbangannya itu bukan tanpa alasan. Komala ingin melihat dahulu pasar kopi dari Kaki Gunung Ciremai bisa seluas Kopi Lampung atau sebaliknya.
Benar saja, selama hampir 20 tahun berjalan, ia tidak terlalu beruntung. Harga kopi robusta yang tidak menjanjikan, petani wajib tunduk pada mata rantai niaga, hingga proses panjang membuat jenis biji kopi ini tidak mampu bersaing dengan kopi maupun jenis lain dari luar Kabupaten Kuningan.
“Pilihan menanam kopi yang sempat diragukan banyak petani ada benarnya juga. Proses panjang dan lama, membuat waktu selama puluhan tahun ini berjalan sia-sia. Sangat rugi biaya, apalagi waktu,” kata Komala.
Kampus Kopi
Minim ilmu, Kampus Kopi menjadi penyelamat. Mahasiswa jurusan Pertanian Universitas Swadaya Gunung Jati (UGJ) yang giat berkeliling untuk menginventarisasi kopi Ciremai akhirnya bertemu Komala pada 2014.
Pada pertemuan awal itu, Komala menantang para pegiat kopi itu untuk mencari pasar yang mau membeli kopi dari Desa Cibeureum. Kalau permintaan tersebut terkabul, petani bersedia melakukan petik merah seperti apa yang diharapkan oleh Try Utomo Rubianto, pendiri Kampus Kopi Cirebon.
“Mulai dari situ Kopi Desa Cibeureum mulai dikenal, terutama pasar kopi di Cirebon. Kondisi itu membuat harganya melonjak menjadi 50 ribu rupiah per kilogram dari harga awal cuma 10 ribu rupiah. Saya langsung bersemangat dan mengajak petani lainnya,” ujar Komala.
Mantap memilih kopi sebagai jalan hidupnya, Komala pun mulai belajar banyak tentang kopi, baik dari pengalaman pribadi atau petani lainnya. Selepas pertemuan dengan mahasiswa pertanian, ia tidak hanya menanam, memangkas, hingga memanen biji merah. “Proses akhir yang saya lakukan tidak berhenti memanen biji merah, tetapi menjemur, meroasting, dan memproduksi dalam kemasan siap giling dan dinikmati,” ucap Komala.
Dewi Fortuna Itu Bernama Bank Indonesia
Gairah Kokom belum berhenti. Pada 2018 ia didatangi oleh tim dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia Cirebon. Kedatangan tim itu untuk menjadikan Kelompok Tani Ratu Asih atau wadah petani kopi Desa Cibeureum sebagai binaanya.
Bukan tanpa alasan, keberadaan Bank Indonesia di Desa Cibeureum untuk membantu menuntaskan permasalahan dalam kegiatan pertanian kopi. Kebiasaan memetik biji kopi secara parol (campur antara hijau dan merah) dan minimnya penerapan teknologi membuat setiap biji yang dihasilkan selalu berada di bawah standar.
Padahal, Kopi Cibeureum merupakan kopi robusta yang memilki cita rasa unik dengan sensasi rasa nuty, brown sugar, dan dark chocolate atau juga menyerupai rasa kopi arabica.
“Jangkauan pasar kopi Cibeureum masih terbatas. Untuk mengatasi masalah tersebut, Kantor BI Cirebon membina Desa Cibeureum sebagai upaya pengembangan ekonomi daerah dan pengendalian inflasi,” kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Cirebon Hestu Wibowo.
Dalam pengembangan itu, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Cirebon memberikan berbagai program. Di antaranya, pengembangan pemasaran kopi, peningkatan kapasitas petani dan kelembagaan kelompok usaha; serta pengembangan desa wisata.
Setelah kedatangan Bank Indonesia, Komala dikutsertakan pameran kopi berskala nasional dan internasional. Gelaran bergengsi tersebut di antaranya, Ciayumajakuning Enterpreneur, Festival Kopi Nusantara, Jakarta Coffee Week, Jawa Coffe Week, dan Ngopi Saraosna. Dalam acara akbar tersebut, kopi robusta dari Desa Cibeureum mampu menjadi percontohan. “Alhamdulillah, kopi kami diakui kualitasnya. Dalam cupping test, skor yang kami terima di atas 80,” ucap Komala.
Kerja keras itu berbuah hasil. Kopi dari Desa Cibeureum mulai dilirik banyak orang. Tidak hanya permintaan dari Ciayumajakuning. Kedai kopi di Bandung, Jakarta, Turki, hingga Amerika menginginkan kopi dari Kaki Gunung Ciremai bertengger dengan kopi dari daerah lainnya.
Sembari tetap mengolah kopi di kebun, Komala terus membagikan pengalamannya itu kepada siapapun yang ingin memantapkan diri ke dalam dunia kopi. Baginya, semangat para petani Kuningan melawan kesusahan harus menjadi inspirasi bagi semua orang. “Kalau semua dikerjakan secara ikhlas. Niscaya, bakal memberikan manfaat luar biasa. Kami juga ingin kejayaan Kopi Kuningan bisa dilanjutkan,” tutup komala.