JAKARTA--Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengaku ingin mengirim timnya untuk mempelajari pola pengembangan energi terbarukan di Uni Emirat Arab (UEA) yang menghasilkan listrik dengan tarif kompetitif.
"Minggu lalu saya ke sidang OPEC di Wina, Austria. Saya bertemu dengan Menteri Energi Uni Emirat Arab. Ternyata, negara yang memproduksi minyak 3 juta barel per hari itu menggunakan energi terbarukan," katanya dalam diskusi akhir tahun ketenagalistrikan di Jakarta, Kamis.
Menurut Jonan, UEA yang kaya minyak sangat peduli dengan penggunaan listrik dari energi terbarukan. Berbeda dengan Indonesia yang mengonsumsi minyak secara besar-besaran, tapi belum juga memanfaatkan energi terbarukan secara optimal.
"Uni Emirat Arab ini produksinya 3 juta barel per hari, tapi konsumsinya kurang dari 5 persen saja. Sementara kita produksinya 800.000 barel per hari, konsumsinya mencapai 1,6 juta barel per hari. Mereka pakai tenaga matahari," katanya.
Jonan menuturkan, negara kaya minyak itu bahkan tengah berencana membuat pembangkit listrik tenaga matahari bertarif 2,99 sen dolar Amerika Serikat (AS) per kilo watt per jam (kwh), walau pun memang kapasitasnya juga besar.
UEA juga berencana untuk membangun pembangkit tenaga solar berkapasitas hingga 5.000 Mega Watt (MW) bertarif 2,25 sen dolar AS per kwh.
"Meski katanya daya absorbsi solarnya berbeda, tapi masa' di sini harganya mahal. Makanya, saya mau kirim tim untuk melihat ke sana. Kenapa harganya bisa kompetitif begitu?," demikian Ignasius Jonan.
Mendengar kisah Jonan, pengamat energi dari Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa mengatakan bahwa informasi yang diterima mantan Menteri Perhubungan itu belum lengkap.
Menurut Fabby, paparan Menteri Energi UEA soal tarif listrik kompetitif dari pembangkit tenaga matahari itu didapat melalui lelang jauh sebelum rencana pembangunan dan terpasang (delivery).
"UEA itu memulai lelang dengan kapasitas ratusan Mega Watt agar mendapatkan tarif yang paling kompetitif. Tapi, delivery (listrik yang terpasang) baru 2020 dengan konstruksi mulai 2018 menunggu harga teknologinya turun," ujarnya.
Tarif yang kompetitif, menurut Fabby, juga dengan mudah didapat lantaran tanah dan pajak ditanggung oleh pemerintah setempat.
"Belum lagi pendanaan murah baik dari dalam maupun luar negeri. Bunganya juga rendah. Untuk yang lain di luar komponen modul surya, mereka juga gunakan lelang internasional," katanya.
Oleh karena itu, ia menilai, jika pemerintah ingin mempelajari sistem tarif sekompetitif itu, maka haruslah melalui kajian mendalam.
"Tarif listrik energi terbarukan memang harus kompetitif. Selisih yang dibebankan ke PLN juga tidak boleh terlalu besar agar kompetitif," katanya menambahkan.