JAKARTA – Pemerintah tengah mencari solusi agar jatah 10% hak partisipasi minyak dan gas bumi yang dimiliki pemerintah daerah tidak lepas akibat persoalan pendanaan. Nantinya, akan disiapkan aturan terkait solusi tersebut.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan arahan dari Presiden Joko Widodo jelas bahwa jatah 10% kepemilikan hak partisipasi eksploitasi migas tetap di pemerintah daerah.
“Tidak boleh dijual. Tidak digadaikan dan sebagainya. Caranya bagaimana, kita akan cari cara supaya hak dari daerah ini akan tetap di situ supaya ada pemerataan pembangunan di daerah,” katanya di Kompleks Istana Negara, Senin (31/10/2016).
Saat ini, lanjutnya, pihaknya tengah menyiapkan cara dan opsi yang nantinya akan dibuat aturan agar hak partisipasi tersebut tetap di daerah. Dia menambahkan selama ini yang tejadi adalah ada yang meminjam ke perbankan serta dikerjasamakan karena tidak adanya modal sehingga lama-lama hak pastisipasi daerah tidak jelas.
Sementara itu, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan pemerintah pusat menginginkan agar daerah bisa menikmati sumber daya alam yang dimiliki melalui hak partisipasi 10% tersebut. Oleh karena itu, lanjutnya, pihaknya tengah mencari solusi agar daerah yang tidak cukup modal bisa menikmati dan hak tersebut tetap menjadi milik daerah.
“Nanti teknisnya kita update,” ujarnya.
Bisnis mencatat, pada Maret, Badan Kerjasama BUMD Seluruh Indonesia (BKSBUMDSI) meminta pemerintah menerapkan skema khusus dalam hal penawaran saham partisipasi (participating interest/PI) kepada badan usaha milik daerah (BUMD) yang kotanya merupakan sumber minyak dan gas.
Kala itu, Ketua Umum BKSBUMDSI Arif Afandi mengatakan selama ini perusahaan daerah hanya menjadi kendaraan perusahaan swasta yang memanfaatkan terbatasnya kemampuan finansial.
Oleh karena itu, dia menilai pemerintah harus menerapkan skema khusus yang memastikan PI 10% dari bisa dirasakan. Pasalnya, bisnis di sektor minyak dan gas bumi memerlukan modal yang besar dan membutuhkan masa pengembalian modal yang cukup panjang. Selain menghadapi tantangan terbatasnya akses permodalan, BUMD juga harus dibebankan penyetoran dividen setiap tahunnya.
"Kalau itu skema normal PI, maka BUMD tersebut harus setor modal sesuai dengan persentase sahamnya. Tentu akan memberatkan," ujarnya.
Dia menilai PI tak dimaknai dari sudut pandang bisnis murni. Pasalnya, semangat untuk melakukan pemerataan tak akan tercapai. Adapun, cara yang mungkin dilakukan dengan menangguhkan modal menjadi setoran terutang kepada pemilik saham mayoritas. Saat kegiatan eksploitasi sudah berjalan, keuntungan tak perlu dibayarkan secara penuh sebagai cara membayarkan piutang. Dengan demikian, BUMD memiliki kesempatan untuk meningkatkan kapasitasnya.
"Itu menjadi piutangnya pemegang saham mayoritas, perusahaan yang mendapat hak eksplorasi. Karena ini utang BUMD, bayarnya dengan cara dividen dari hasil eksplorasi tidak dibayar penuh," katanya.
Pada Maret, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM juga telah memulai merancang peraturan menteri tentang penawaran PI. Dirjen Migas Kementerian ESDM IGN Wiratmaja Puja kala itu mengungkapkan pihaknya akan mengkaji BUMD yang berhak mendapat tawaran. Perbankan, lanjutnya, diperbolehkan memberi pinjaman dalam kaitannya memberi dukungan secara finansial asalkan tidak melakukan penjualan saham.
"Belum mampu tapi dididik. Asal jangan jual saham," katanya.