Kebahagiaan, konon, menjadi ujung pangkal segala objek yang dituju manusia, bukan yang lain. Ah, belum tentu, demikian pendapat yang tak sepaham. Pendapat ini mengajukan argumen: ada orang yang rela melepaskan kebahagiaan demi sesuatu yang lain, misalnya demi: kekasih, Tuhan, keluarga dan lain sebagainya.
Dua pandangan saling bertolak belakang itu memperlihatkan bahwa kebahagiaan memang absurd, rumit dan tak pernah menghadirkan pengertian yang jelas dan lugas.
Apakah sesungguhnya kebahagiaan? Literatur keagamaan memberi pemahaman: kebahagiaan itu adalah damai sejahtera yang bersemanyam di hati individu. Ya, bukan di tempat lain tapi di dalam kalbu. Benarkah demikian? Tampaknya banyak orang yang pada praktiknya tak berlaku sebagaimana diisyaratkan literatur itu.
Jika kebahagiaan itu ada di kalbu, demikian pendapat orang yang menyangkal kebenaran literatur itu, mestinya orang cukup berdiam diri dan menikmati kebahagiaan yang sudah ada di dalam dirinya itu. Kenyataannya, orang mencarinya di tempat-tempat yang jauh, di taman-taman yang penuh hiburan, di restoran-restoran yang menyajikan makanan lezat.
Ah, kalau yang diserbu banyak orang itu, demikian pembela literatur keagamaan, bukan kebahagaiaan tapi kesenangan. Harus dipisahkan antara kebahagiaan dan kesenangan.
Nah, di sinilah tampaknya problem wacana kebahagiaan harus dipecahkan. Kebahagiaan yang merupakan damai sejahtera di hati harus dibedakan dengan kesenangan, perasaan yang nyaman namun tak selalu memberi efek damai sejahtera di hati tapi juga justru menjadi jalan masuk ke kekacauan menyengsarakan di hati.
Contoh kesenangan yang menyeret indivisu ke kekacauan yang menyengsarakan adalah: kesenangan yang dicapai dengan melampaui kewajaran alamiah. Mereka yang kecanduan apapun, tanpa kontrol diri yang kuat, sering meluncur ke lembah sengsara.
Seorang anak remaja dari keluarga berharta, yang punya kecanduan menenggak minuman keras tanpa kontrol diri, pada akhirnya menelan konsekwensinya berupa harus cuci darah rutin karena ginjalnya rusak. Seorang yang melampiaskan hasrat seksualnya kepada siapa pun tanpa kontrol diri pada akhirnya harus hidup dengan penyakit yang berkaitan dengan hilangnya daya kekebalan tubuh yang hingga kini belum ditemukan obat penyembuhnya yang ampuh.
Namun, ketika individu itu telah jatuh ke lembah sengsara, demikian yang tertera dalam sejumlah literatur keagamaan, saat itulah dia disadarkan oleh Yang Maha Kuasa bahwa kesenangan yang tak terkontrol itu adalah ibarat perburuan hawa nafsu yang sia-sia.
Bisa jadi, setelah hidup dalam sengsara itu, sang individu mulai masuk ke tahapan hidup yang bermakna. Tuhan menyelamatkan sukmanya dengan melewati derita jasmaniah yang sesungguhnya bukan derita abadi, untuk masuk ke penyadaran diri akan kefanaan duniawi dan dari sinilah dia menyadari bahwa kebahagiaan memang tak lain adalah kedamaian dalam hati.
Pada akhirnya teks keagamaan menjadi pemenangnya. Pada perjalanan menuju wacana tentang kebahagiaan, tiap individu punya hasrat untuk menyangkal teks yang demikian, meskipun pada akhirnya tunduk pada kebenaran yang dikandung teks keagamaan itu.
Aspek kebahagiaan yang lain, yang sering diingatkan oleh kalangan spiritualis adalah: kebahagiaan itu tak memerlukan syarat dan ketentuan untuk meraihnya.
Namun, ironisnya, manusia memasang sendiri syarat-syarat itu untuk dirinya. Misalnya, ada remaja yang bilang: bahagia tentunya kalau seseorang bisa punya harta melimpah. Pernyataan remaja ini bisa diparafrasekan demikian: bahwa harta melimpah itu menjadi syarat untuk berbahagian. Pernyataan ini jelas lemah dan akan dengan mudah dipatahkan oleh argumen berikut: banyak orang berbahagia tanpa punya banyak harta.
Orang yang sedang kasmaran akan bilang: aku akan bahagia jika dapat menikah dengan pacarku. Si aku sudah memasang syarat buat dirinya unttuk mendapatkan kebahagiaan itu. Itu syarat yang artifisial: banyak orang bahagia yang tak punya kekasih manusiawi.
Orang yang bahagia sama sekali tak bisa diidentifikasi dari penampakan luarnya. Kebahagiaan kadang justru termanifestasi dalam rupa yang bertolak belakang dengan yang difantasikan orang tentang apa itu bahagia.
Anand Nagar yang berarti Negeri Bahagia sebagaimana diabadikan Dominique Lampierre dihuni oleh orang-orang yang begitu merana secara materi tapi toh di hati mereka juga mengendap rasa bahagia juga.
Tak ada rumus tunggal mengenai apa itu kebahagiaan. Bukan tak ada, mungkin yang lebih tepat adalah belum ada. Atau memang tak akan pernah ada karena begitu kompleksnya hakikat kebahagiaan. Menemukan rumus tunggal kebahagiaan itu agaknya sama absurdnya dengan mencari teori segala sesuatu untuk menjelaskan semesta dalam ranah ilmu fisika murni, yang sampai saat ini menjadi impian kaum mahafisikawan.
Syahdan, teks keagamaan sudah menyediakan aneka rumus tentang kebahagiaan yang tinggal pungut bagi siapa saja yang berminat. Salah satunya adalah kepasrahan untuk menerima apa yang ada tanpa banyak permintaan kepada Pemberi Kehidupan. Kaum sufi, santo, biksu, dan sebangsanya menyerahkan hidupnya, takdirnya pada kehendak illahi. Dengan sikap hidup yang demikian, mereka berhrap meraih kebahagiaan.
Kebahagiaan yang mereka idamkan pun bukan kebahagiaan hari ini dan di sini tapi kebahagiaan yang kekal, dan di sana. Pembedaan antara kebahagiaan di dunia dan di akhirat pun agaknya hanya membuat kempleksitas tentangnya semakin tinggi dan tak terurai dalam kata-kata.