Malam itu waktu menunjukkan pukul 22.30 WIB, suasana di Markas Komando Satpol PP Kota Bogor, Jawa Barat terlihat lebih ramai dari biasanya. Sejumlah orang menunggu di depan ruangan tertutup yang dijaga personel berseragam cokelat tersebut, sebagian lagi duduk di ruang pos jaga dan parkiran.
Sesekali petugas keluar masuk di ruang utama menuju ruang samping, saat pintu terbuka, terlihat petugas berjaga-jaga di balik pintu. Suasana di dalam cukup padat. Sekitar 20 orang perempuan duduk di kursi mengelilingi meja rapat, ada yang berambut pendek, sedang dan panjang, hingga ada yang mengenakan jilbab.
Tidak ada yang berpakaian seronok, hanya saja mereka berdandan sedikit menor dari wanita pada umumnya. Mereka ada yang tertunduk sambil menutup raut wajahnya, ada juga yang merapatkan wajahnya di atas meja.
"Siapa yang usianya masih 16, 17 dan 18 tahun, angkat tangan," ujar Kepala Satpol PP Kota Bogor Eko Prabowo dari pintu ruangannya.
Sekitar satu, dua hingga enam orang mengacungkan tangannya ke atas. Atas arahan Kasatpol PP, mereka diminta masuk ke dalam ruangannya terpisah dengan belasan perempuan yang usianya sudah tidak mudah lagi.
Keenam perempuan yang masih berstatus di bawah umur tersebut masuk dan duduk di atas satu set kursi tamu di ruang Kasatpol PP. Lima orang duduk di kursi panjang mereka adalah Ayu (18) beralamat di Cipaku, Icha (16) beralamat di Cipaku, Sri Mulyani (18) beralamat di Balai Kambang, Jakarta, Dina (16) beralamat di Sempur, Agustina (16) berstatus masih pelajar beralamat di Komplek Perumahan Badak Putih, Cipaku, dan Lala (16) duduk di kursi terpisah dengan yang lainnya.
"Siapa diantara kalian yang masih sekolah," tanya Kasatpol PP.
Dari enam orang tersebut, hanya Agustina yang mengaku masih berstatus pelajar kelas 11 di salah satu SMK di wilayah Kota Bogor. Yang lainnya sudah putus sekolah, ada yang tidak lulus SD, berhenti saat SMP dan belum menerima ijazah SMA.
Ayu (18) tidak lulus SMA, diamankan petugas di Puri Dadali dalam operasi yang digelar Senin (8/6) sekitar pukul 17.00 WIB. Ia terjaring bersama rekan satu kampungnya Icha (16) di tempat yang sama saat berada di salah satu kamar di penginapan kelas melati itu.
"Saya mah tidak ngapai-ngapain pak, cuma nganterin teman. Lagi di kamar mandi, tiba-tiba ada yang ngetuk pintu taunya petugas," kata Ayu menjawab pertanyaan Kasatpol PP dengan lantang.
"Lalu kamu Icha, sedang ngapain kamu di Puri Dadali," tanya Kasatpol PP kepada Icha yang duduk bersebelahan dengan Ayu.
Gadis belia, rambut lurus panjang digulung, kulit sawo matang, dibibirnya masih tersisa noda lipstip berwarna merah tipis itu hanya menunduk.
"Saya di telepon sama Pak Agus yang pakaian seragam itu, dia yang minta saya datang kesini (penginapan Puri Dadali), saya Ayu juga," katanya.
Berbeda dengan Ayu dan Icha, Sri Mulyani (18) karyawan swasta di kawasan Kalibata, diamankan petugas bersama pacarnya sedang berada di dalam kamar hotel.
"Saya lagi sama pacar pak, kami sudah bertunangan, bulan depan mau menikah," kata perempuan berjilbab itu.
Sri datang ke Bogor untuk bersilaturahim ke rumah orang tua calon tunangannya. Dalam perjalanan hendak pulang ke Jakarta, mereka singgah di salah satu hotel di Jalan Pajajaran.
"Pacar saja ngajakin singgah karena mau istirahat, capek katanya," kata perempuan yang tidak lulus di bangku SMA.
Biaya Hidup Icha beralasan melakukan perbuatan tersebut karena kebutuhan ekonomi. "Saya butuh biaya hidup dan membayar hutang kepada teman, mencoba mengikuti jejak Ayu. Icha beralasan melakukan perbuatan tersebut karena kebutuhan ekonomi . "Saya butuh biaya hidup dan membayar hutang kepada temannya, mencoba mengikuti jejak Ayu, teman satu kampungnya. Lewat Ayu, remaja bertubuh kurus itu mulai berkenalan dengan dunia hitam dan mulai "ketagihan" karena uang bayaran yang diperolehnya sangat menggiurkan .
"Uangnya ya untuk jajan, kadang sebagian dikasih ke ibu," kata Icha.
Icha tumbuh menjadi anak satu-satunya dari seorang ibu yang bekerja di minimarket dan bapak seorang buruh. Ia sempat merasakan lari dari rumah karena terlibat perkelahian dengan sang ibu. Gadis yang tidak lulus SMP ini juga mewarisi kebiasaan merokok dari ayah dan ibunya.
"Malu sih pak, tapi mau kerja apa lagi. Saya juga tidak mau kerja beginian. Tapi kan saya butuh uang, cari kerja susah, apalagi saya tidak lulus SMP," kata Icha.
Agustina beralasan, melakukan pekerjaan itu karena terpaksa membutuhkan uang. Ia memiliki hutang senilai Rp1,8 juta kepada sekolah karena tidak membayar iuran sekolah selama beberapa bulan. Orang tuanya memberinya uang cukup, begitu juga dengan uang sekolah setiap bulannya. Tapi, uang itu tidak dibayarkan, karena habis dipakai buat jajan membeli perlengkapan pribadi.
Uang hasil kerjanya digunakan untuk melunasi hutang, setelah hutang lunas, penghasilan Agustina ia belikan untuk pakaian, perhiasan, dan juga gadget, seperti iPad. Kepada orang tuanya, ia mengaku dapat membeli barang-barang tersebut dibeli dari teman.
Dijemput Orang Tua Waktu menunjukkan hampir pukul 23.00 WIB, malam itu wajah-wajah lelah terlihat dari raut muka keenam remaja itu. Mereka sudah mulai gusar, kapan mereka selesai diperiksa dan bisa pulang, karena ada beberapa yang tidak ingin orang tuanya tahu, alasan mereka terlambat pulang ke rumah karena terjaring razia petugas.
Petugas memberikan syarat agar mereka bisa pulang harus dijemput oleh pihak keluarga, tanpa syarat itu mereka tidak akan diperbolehkan pulang. Kepanikan mulai melanda, mereka khawatir jika orang tua mereka tahu diamankan petugas karena kedapatan sedang berada di hotel, akan membongkar rahasia yang selama ini mereka tutupi.
Remaja-remaja itu memang jarang pulang malam, alasan ini untuk menutupi kecurigaan orang tua mereka. Perbuatan itu mereka lakukan sore hari, karena jika malam hari lebih berisiko akan terjaring razia. Namun, langkah Satpol PP melakukan razia siang hari pun memperoleh hasil yang signifikan, dari tiga hotel kelas melati yang disasar, 34 pasangan terjaring razia petugas, dimana keenam remaja belia ini salah satunya.
"Bapak, kalau nanti orang tua saya datang jemput, dan tanya kenapa saya bisa dibawa ke sini (kantor Satpol PP-red) bapak bilangnya apa?," tanya Agustina kepada Kasatpol PP.
Agustina merasa takut, bila orang tuanya mengetahui pekerjaan sampingannya. Ia sangat takut dengan ayahnya, karena memiliki karakter mendidik sangat keras ala militer. Bahkan tidak segan-segan untuk memukulnya.
"Pak jangan bilang ke ibu saya, kalau saya ketangkap di hotel. Bapak saya galak, saya takut dipukul," kata Agustina.
Kasatpol PP Eko Prabowo mengatakan untuk menghindari konflik keluarga, dan para remaja tersebut masih bisa tetap pulang maka dirinya tidak akan mengatakan fakta yang sebenarnya.
"Saya hanya akan bilang, kalau kalian terjaring razia petugas saat berada di jalan. Tapi saya minta, kalian jangan sekali lagi bertemu saya, kalau masih kedapatan turun dijalan, saya tidak segan-segan mengirim kalian ke Bambu Apus," kata Eko.
Satu persatu remaja itu mulai menghubungi pihak keluarganya, ada yang dijemput kakak, sepupu, mamang, hingga orang tua. Sebelum diperbolehkan pulang, mereka didata dan diminta menulis surat pernyataan. Mereka yang sudah menyelesaikan pendataan diperbolehkan "Saya minta ibu untuk mengawasi Agustina, perhatikan betul kegiatannya, awasi jangan sampai ia terjaring lagi oleh petugas," kata Kasatpol PP.
Ada kecemasan di wajah ibunda Agustina yang kemudian mengaku bahwa selama ini anaknya selalu diantar jemput ke sekolah oleh kakaknya. Tetapi belakangan ini diizinkan untuk membawa kendaraan sendiri.
Pukul 23.30 WIB, Agustina akhirnya pulang bersama ibunya. Bersama itupula, puluhan pasangan mesum yang terjading petugas, satu per satu pulang ke rumah setelah dijemput oleh pihak keluarga masing-masing.
Solusi Sebanyak 22 perempuan yang terjaring razia, selain didata oleh petugas Satpol PP, juga didata ulang oleh Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Bogor yang datang langsung ke Mako Satpol PP.
Kepala Dinsosnakertrans Kota Bogor, Annas Rasmana ikut mendata mereka yang terjaring, untuk mengisi surat peryataan.
Menurut Annas, dari keseluruhan perempuan yang terjaring razia hanya tiga orang yang kedapatan berprofesi sebagai penjaja seks komersial.
"Yang tiga orang PSK ini kita bawa ke Bambu Apus untuk dibina, sisanya kita pulangkan, karena status mereka ada yang berpacaran dan bertunangan," katanya.
Ia mengatakan, saat ini Kota Bogor belum memiliki panti sosial untuk pembinaan PSK, anak jalanan, transgender, maupun ODHA. Tidak adanya fasilitas tersebut membuat upaya tindak lanjut dari penjaringan yang dilakukan oleh Satpol PP belum memiliki solusi kongkrit.
"Rencana tahun 2016 kita akan membuat sekolah PMKS dan rumah singgah. Untuk pembangunan gedung ini membutuhkan luas tanah sekitar 2.000 meter persegi dengan anggaran mencapai Rp3 miliar,"katanya.
Selama gedung tersebut belum berdiri, Dinsosnakertrans melakukan pembinaan kepada masyarakat yang tergolong dalam Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), namun jumlah yang terakomodir masih terbatas.
Selain itu, Satpol PP juga akan melakukan upaya lanjut dengan menindak sejumlah hotel yang menyediakan atau memfasilitasi tempat bagi perbuatan asusila.
"Tiga hotel yang terkena razia kemarin sudah kita perintahkan tutup sementara, pemiliknya kita panggil," kata Kasatpol PP Eko Prabowo.
Takut Razia, Penjaja Seks Pun Beroperasi Sore Hari
Remaja-remaja itu memang jarang pulang malam, alasan ini untuk menutupi kecurigaan orang tua mereka. Perbuatan itu mereka lakukan sore hari, karena jika malam hari lebih berisiko akan terjaring razia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Newswire
Editor : Yanto Rachmat Iskandar
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
5 hari yang lalu
OJK Gandeng FSS Korea Tingkatkan Pengawasan Sektor Keuangan
1 hari yang lalu