Bisnis.com, BANDUNG -- Pemerintah, petani, pengusaha dan semua yang terlibat dalam rantai pasok beras diminta untuk duduk bersama untuk mengatasi harga beras yang tidak juga stabil.
Ketua DPD Harian HKTI Jawa Barat Entang Sastraatmadja mengatakan hal ini merupakan dampak domino dari ketidakjelasan arah kebijakan pangan di tanah air. Sehingga, ia memerkirakan dampak ini akan tetap terjadi hingga beberapa bulan ke depan.
"Saat ini juga kan musim lagi kemarau, jadi kemungkinan [harga] beras masih akan tetap seperti," ungkap Entang kepada Bisnis, Rabu (4/10/2023).
Seharusnya, kata Entang, ini menjadi momentum yang untuk kembali mengkaji ulang Harga Pokok Penjualan (HPP) gabah dan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras. Pasalnya, dengan kenaikan harga beras saat ini tidak sama sekali memberi nilai tambah ekonomi bagi petani.
"Sekarang kita tahu HPP ini sepertinya mengekang petani untuk mendapat harga gabah yang baik, jadi sediki-sedikit harga gabah naik itu harus kembali ke HPP, kalau harga beras meningkat ugal-ugalan kembali ke HET, buat saya bukan hanya soal dikembalikan, tapi ditinjau ulang apa memang harga itu terlalu rendah dalam situasi kekinian," ungkap dia.
Sementara itu, petani sebagai produsen harus memproduksi padi dengan harga sarana produksi padi yang tinggi, namun gabahnya diterima dengan harga murah.
Baca Juga
"karena pemerintah juga harus membaca harga Saprodi [Sarana Produksi] untuk menghasilkan padi itu naik, ini sudah tidak sebanding dari kenaikan harga beras dengan pendapatan para petani kita. jadi tinjau lah secara utuh dan menyeluruh," ungkap dia.
Menurut dia, pihak yang paling diuntungkan dalam kondisi saat ini tidak lain adala distributor. Hal tersebut dibuktikan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jabar yang mencatat jarak yang sangat lebar dari Harga Gabah Kering Giling (GKG) terhadap beras di pasaran yang mencapai Rp5.665 atau naik 9,67 persen dari Agustus 2023.
Hal terbalik terjadi pada Harga Gabah Kering Petani (GKP) yang hanya dihargai Rp6.577 per kilogram. "Untung lebih besar di distributor tapi yang dirugikan pasti produsen dan konsumen, pedagang ini sebagai perantara selalu mendapatkan nilai ekonomi. Tapi petani yang berisiko tidak mendapatkan nilai tambah ekonomi," jelasnya.
Untuk itu ia mendorong HPP dan HET beras ini harus ditinjau ulang dengan rumus tani yang memang sudah ada. Sehingga, harga beras ini bisa dinilai apakah terlalu tinggi atau memang pantas dihargai dengan harga rata-rata yang saat ini terjadi di pasaran.
"Balik lagi, karena memang petani itu ditekan untuk menghasilkan gabah dengan sarana produksi mahal, tapi harganya di hargai dengan murah," jelasnya.