Bisnis.com, PURWAKARTA - Pemkab Purwakarta saat ini gencar menyosialisasikan Peraturan Bupati (Perbup) baru mengenai pedoman pengusulan dan penetapan jabatan pelaksana (Japel) bagi pegawai di lingkungan pemerintahan.
Dalam Perbup nomor 41 tahun 2022 itu, salah satu poin pentingnya menjelaskan mengenai keteraturan pengusulan jabatan pelaksana dan kesesuaian kualifikasi pendidikan yang disyaratkan bagi para pegawai. Sehingga, Perbup ini diperlukan sebagai pedoman dan panduan dalam penempatan jabatan.
Namun, dari informasi yang saat ini ramai beredar di kalangan pegawai, sosialisasi Perbup baru tersebut mengindikasikan adanya kekeliruan yang selama ini terjadi di lingkungan pemerintahan.
Kabarnya terdapat ketidak sesuaian data terkait kelas jabatan yang terjadi pada sedikitnya 800 pegawai setingkat staff pelaksana di beberapa OPD.
Hal mana, sejumlah staf pelaksana yang secara tunjangannya ditenggarai tidak sesuai dengan pendidikannya. Misal, yang secara administrasi akademis dia hanya lulusan SMP atau SMA, tapi secara besaran tunjangan itu mereka masuk kelas 7 atau setara S1.
Mendengar informasi tersebut Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM), Norman Nugraha pun angkat bicara. Dia berkilah, Perbup yang saat ini disosialisasikan, sebenarnya itu lebih pada mengatur kaitan tatacara pengusulan jabatan pelaksana (Japel) di setiap jabatan sampai ke penetapannya.
"Maksud dari Perbup yang saat ini disosialisasikan tersebut, itu lebih ke mengatur penempatan Japel sehingga kriterianya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perbup ini, juga disusun untuk menjadi pedoman dalam pengusulan dan penetapan pemangku jabatan pelaksana," ujar Norman saat dihubungi Bisnis.com, Minggu (28/8/2022).
Adapun kriteria jabatan pelaksana, kualifikasinya disesuaikan dengan kelompok pendidikannya. Yakni, kelompok Japel minimal D-IV atau Sarjana, Japel Kelompok D-III, Japel kelompok SMA/sederajat, dan Japel kelompok minimal SD. Ada juga Japel dengan kualifikasi tertentu yang dikecualikan bagi penetapan penunjukan dari bupati.
"Jadi yang belum masuk kualifikasi, saat ini akan diarahkan untuk mengikuti uji kompetensi kenaikan kelas jabatan," kata dia.
Terkait isu yang beredar mengenai adanya staf pelaksana yang selama ini secara tunjangannya ditenggarai tidak sesuai dengan pendidikannya, secara umum Norman tak menampik. Namun, dia menegaskan, selama ini tidak ada Jabatan Pelaksana yang secara akademis lulusan SD dan SMP yang masuk ke kelas 7 secara pendapatan tunjangannya.
"Itu 800 staf dari mana infonya? Tidak sebanyak itu dan tidak ada lulusan SD dan SMP yang masuk ke kelas 7," tegas dia.
Saat ditanya mengenai jumlah pasti berapa pegawai yang secara aturan belum masuk kualifikasi kelas 7, sampai saat ini Norman belum bisa menjawabnya. Dia menyatakan, saat ini jajarannya masih mengindentifikasi dan mendatanya.
Sementara itu, salah seorang aktivis di Kabupaten Purwakarta, Hikmat Ibnu Aril mengaku prihatin jika informasi tersebut benar adanya. Dia membayangkan, bagaimana beban APBD selama ini sangat berat untuk membayar tunjangan para pegawai setingkat staff yang secara aturan memang belum masuk kualifikasi.
"Bayangkan saja, pegawai yang (maaf) lulusan SMP misalnya, secara besaran tunjangan mereka mendapat setingkat S-1. Itu jelas membuat beban APBD bertambah," ujar Ketua Gerakan Moral Masyarakat Purwakarta (GMMP) itu.
Aril mencontohkan begini, misalnya ada pegawai lulusan SMP yang harusnya tunjangan mereka hanya Rp1,5 juta per bulan, itu jadi Rp3,4 juta per bulan karena kelasnya masuk di kelas S-1. Dia membayangkan, berapa besar selisih anggaran yang harus dialokasikan negara untuk membayar tunjangan mereka. Apalagi, kabarnya ini sudah beberapa tahun berjalan.
"Tapi di sini, kita tidak berbicara berapa besar sih beban APBD untuk belanja pegawai. Tanggapan kita, itu lebih kepada sejauh mana aturan mengenai Permenpan 41 tahun 2018 tentang nomenklatur Japel bagi ASN di jalankan di lingkungan Pemkab Purwakarta," kata dia.
Menurut Aril, dalam Peraturan Menteri tersebut, sudah jelas dan sangat saklek bahwa untuk mengisi Japel di lingkungan pemerintahan itu diperlukan keseragaman nomenklatur, kualifikasi pendidikan dan tugas jabatan.
Dalam hal ini, pihaknya berharap jajaran Inspektorat Daerah bisa segera mengambil langkah, supaya beban APDB juga bisa berkurang. Minimalnya, ada audit menyikapi masalah tersebut. Jangan sampai, ketidaksusuaian ini dibiarkan berlarut-larut hingga beban APBD semakin berat.
"Menurut kami, kalau mereka yang lulusan SMP atau SMA ya alokasikan saja sesuai kelasnya. Supaya ketidak sesuaian data ini tidak dibiarkan berlarut-larut. Ini tinggal diaudit saja kalau memang besaran tunjangan yang diterima pegawai staff pelaksana tidak sesuai dengan kriterianya. Secara resmi, GMMP juga bakal kirim surat ka BPK untuk dilakukan audit investigasi terkait masalah ini," tambah dia.
Dibagian lain, Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kabupaten Purwakarta, Muchamad Nurcahya, sampai berita ini ditulis belum bisa memberikan tanggapan apapun mengenai besaran anggaran yang dialokasikan untuk kebutuhan belanja pegawai.
Bahkan, saat Bisnis.com meminta izin wawancara untuk mengonfirmasi kaitan porsi APBD untuk belanja pegawai khususnya untuk tunjangan pegawai, hingga saat ini belum ada respon dari yang bersangkutan. (K60)