Bisnis.com, BANDUNG - Komisi X DPR RI memberikan tiga catatan khusus kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim berkaitan dengan dana Banruan Operasional Sekolah (BOS).
Anggota Komisi X Ledia Hanifa Amaliah mengatakan Komisi X DPR RI menjelaskan catatan pertama yakni mengingatkan agar dana BOS tidak terlambat. Sebab hal itu akan menghambat kegiatan operasional sekolah.
“Dalam berbagai kunjungan ke sekolah, kami mendapati keluhan terkait kerapnya dana BOS ini terlambat cairnya. Padahal dana BOS ini menjadi salah satu andalan sekolah untuk membiayai kegiatan operasional sekolah termasuk penggajian guru honorer. Jadi tolong Mas Menteri bisa segera mengkondisikan agar pencairan dana BOS ini tidak lagi terlambat. Kasihan sekolah, apalagi swasta, yang di masa pandemi ini semakin kesulitan karena banyak orangtua juga terdampak pandemi hingga sulit membayar SPP," kata Ledia dalam keterangan resminya, Jumat (12/3/2021).
Ledia menjelaskan pencairan dana BOS yang dilakukan setiap catur wulan saja sesungguhnya sudah memberatkan sekolah yang memiliki kebutuhan bulanan, maka keterlambatan pencairan akan menambah beban sekolah karena harus mencari dana talangan.
“Berkali-kali kami menerima curhatan dari sekolah yang mengaku harus pontang panting cari pinjaman dana kesana kemari untuk menutupi kebutuhan sekolah karena dana BOS belum cair. Lebih sedih lagi beberapa sekolah mengaku, selain terlambat dana BOS ini kadang tidak pula cair penuh di satu waktu. Kadang hanya cair untuk dua bulan dulu baru kemudian cair lagi beberapa waktu kemudian.”
Kedua, caleg Fraksi PKS ini menyoroti soal hak-hak para tenaga kependidikan yang disebutkan dalam kebijakan Kemendikbud honornya dapat dibayarkan dari sisa dana BOS.
“Rasanya tidak adil bila bagi para tenaga kependidikan ini hanya dianggarkan dari sisa dana BOS. Padahal tugas yang mereka emban adalah kegiatan rutin. Penganggaran dari sisa dana BOS seakan menyepelekan beban kerja mereka padahal beban tugas mereka juga bukan perkara mudah. Contoh saja tugas para operator sekolah yang harus menginput dan mengupdate data dapodik secara cermat. Karena itu selayaknya mereka juga diberikan honor yang layak, tepat waktu dan teranggarkan secara jelas, bukan sekedar menunggu sisa dana BOS yang untuk masa pandemi ini tentunya makin sulit didapatkan.”
Catatan ketiga Ledia adalah soal keharusan sekolah berbelanja barang melalui platform SIPlah. Meski mengakui bahwa ide dasar dari penerapan SIPlah ini baik sebagai upaya untuk meminimalisir kecurangan dan memperbaiki administrasi keuangan sekolah, Ledia meminta Kemendikbud untuk tetap memberi kelonggaran secara bertahap atas dasar dua hal.
Yakni, pertama sampai saat ini tidak semua UMKM penyedia kebutuhan sekolah di area wilayah sekolah ikut SIPlah, apalagi kalau sekolah berada di daerah pinggiran atau pelosok. Kedua, sekolah seringkali punya kebutuhan sederhana namun rutin dan mendesak yang lebih mudah apabila dipenuhi dengan membeli langsung pada toko atau warung terdekat.
“Beberapa sekolah mengeluhkan kerap perlu membeli beberapa kebutuhan ajar mengajar dengan segera, misalnya saja untuk keperluan bahan habis pakai. Sementara belanja lewat SIPlah membutuhkan waktu panjang dari proses pemesanan hingga tiba barang. Bahkan biaya yang dikeluarkan pun kadang menjadi lebih mahal karena faktor minimal pembelanjaan dan ongkos kirim.”
Karena itu maka Sekretaris Fraksi PKS ini lantas berharap agar Kemendikbud bisa membangun kebijakan yang dapat mempertimbangkan kondisi situasional semacam itu agar sekolah tetap bisa menyelenggarakan kegiatan tanpa terhambat persoalan –persoalan teknis administratif.
“Menerapkan kebijakan digitalisasi di dalam dunia pendidikan termasuk dalam hal manajeman administrasi dan keuangan tentu harus diimbangi kesiapan semua lini. Baik pihak sekolahnya, pelaku usaha penyedia kebutuhan pendidikan, serta sistem pendukung yang ada termasuk persoalan jarak dan kurir. Selama itu masih dalam tahap perkembangan maka perlu ada kebijakan yang lebih fleksibel dalam batasan-batasan tertentu,” tutup Ledia.(k34)