[caption id="attachment_203890" align="alignright" width="300"] (bisnis-jabar.com)[/caption] Bisnis-jabar.com, BANDUNG--Pengembang game asal Bandung lainnya yaitu Arsanesia menilai ekosistem industri game di Indonesia memang masih belum matang, terutama untuk game mobile. CEO Arsanesia Adam Ardisasmita mengungkapkan berbeda halnya untuk game online, keberadaan dan perkembangan game mobile masih belum seperti game online multiplayer yang cukup stabil. “Walaupun memang game-game online tersebut rata-rata berasal dari Korea, Jepang, atau Amerika dan kita hanya sebagai publisher dan consumer. Industri dimana kita menjadi producernya saat ini baru di area game mobile dan game web,” ujarnya. Adam menilai jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia memang termasuk yang tertinggal. Indonesia tertinggal dari Korea Selatan sekitar 10 tahun, dari jepang sekitar 15 tahun, dan sangat jauh tertinggal dengan Amerika Serikat dari sisi industri game. Namun, geliat positif memang sudah mulai terlihat, dimana beberapa game developer dari Indonesia sudah mulai menunjukan tajinya di kancah internasional. Walaupun masih sedikit dan lambat, potensi yang dimiliki Indonesia sangat besar dan industri ini diprediksi akan semakin besar serta bisa menjadi salah satu kekuatan ekonomi di Indonesia Dia mengatakan meskipun sudah cukup banyak perusahaan di Indonesia, saat ini memang belum terdapat data atau informasi jelas berapa jumlah studio atau perusahaan game yang ada di Tanah Air. “Namun dari total anggota Asosiasi Game Indonesia, terdaftar sekitar 80 perusahaan baik publisher, developer, dan indie developer.” Arsanesia sendiri cukup banyak meraup keuntungan melalui bisnis games secara business to business (B2B) dan business to consumer (B2C). Bisnis games dengan B2C adalah menjual jasa pembuatan game ke perusahaan atau brand tertentu, sementara B2C sendiri dengan menjual produk IP secara langsung ke masyarakat. Masing-masing tentu memiliki target pasar dan tujuan yang berbeda. Untuk B2B, gratis atau berbayar sebuah game diserahkan kepada pemiliki IP dan perusahaan mendapatkan uang dari biaya pembuatan game. Sementara untuk B2C, perusahaan bisa menggukan paid apps, iklan di dalam game, model subscribe, model freemium dengan in-apps purchase, dan lain sebagainya. Adam mengungkapkan pada area B2B, harga satu buah game yang paling sederhana bisa mencapai Rp30 juta sampai Rp 40jt dan untuk klien luar negeri, harga bisa mencapai dua kali lipat. Arsanesia sendiri pernah mengerjakan satu buah game dengan harga hingga ratusan juta. Di Indonesia, harga game masih tergolong murah karena memang pasarnya belum secerdas di luar negeri yang mengerti tentang perhitungan dan pemanfaatan proyek game dari sebuah industri IT dan games. Untuk bisnis game secara B2C, pengembang game di Indonesia sudah ada yang mendapatkan revenue Rp30 juta- Rp40 juta perbulan dari sebuah gamenya. Bahkan menurutnya, sudah ada developer yang berani melempar gamenya ke pasar dengan catatan revenue hingga Rp 500 juta. Hal ini menunjukan bahwa dari segi kualitas di dunia internasional, Indonesia mulai bangkit, meskipun memang belum sekelas developer internasional yang sudah bisa mendapatkan revenue puluhan milyar rupiah dalam waktu perhari. “Semua hal ini merupakan tren positif dimana produk lokal sudah bisa mendapatkan pengakuan di pasar internasional.” Berbagai metode memperkenalkan games ke dalam negeri pun beragam, salah satunya dengan mengangkat konten-konten lokal ke dalam game yang dibuat.(k31/k29)
Industri Game Dinilai Masih Belum Matang
[caption id=attachment_203890 align=alignright width=300] (bisnis-jabar.com)[/caption]
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Topik
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

1 jam yang lalu
Giant Investors Reap Double Gains from PTBA Shares
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
Terpopuler
# Hot Topic
Rekomendasi Kami
Foto
