Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kuda Renggong, sebuah warisan pertunjukan sejak 1910

Oleh Ixora Tri Devi

Oleh Ixora Tri Devi Beberapa kilometer di arah timur kota Bandung, parade unik dan menarik hasil buah pikiran anak bangsa digelar. Tepatnya di Sumedang, sebaris satwa dengan kostum lengkap berlenggak-lenggok menari dalam satu barisan. Ya, itulah kuda renggong, alias kuda penari. Menurut Supriatna, 59, budayawan Sumedang, kuda renggong muncul dan mulai dikenal  pada 1910. “Saat itu Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suriaatmadja berhasil menciptakan iklim kondusif pada setiap bidang. Iklim kondusif ini juga dirasakan oleh para seniman di bidang seni budaya, salah satu buah dari iklim kondusif ini adalah kemunculan kuda renggong,” kisahnya. Kuda renggong adalah hasil karya Aki Sipan, seorang kakek yang bertugas mengurus kuda milik keraton. Pada 1910 ketika Pangeran Aria berencana mengadakan kenduri dalam rangka khitanan cucunya, dia meminta Aki Sipan untuk melatih kuda supaya bisa mengarak cucunya keliling kota. Tidak hanya melatih kuda untuk bisa berbaris rapi, Aki Sipan berkreasi melatih kuda agar bisa mengangguk-angguk dan mengangkat-angkat kakinya, layaknya sedang menari. Kuda yang bisa menari ini lah yang kemudian diberi nama kuda renggong. Aki Sipan lalu mewariskan ilmunya kepada anaknya, Aki Sukria. Di tangannya, kuda renggong tumbuh dan berkembang. Walaupun Aki Sukria tidak memiliki anak, dia tetap berhasil mewariskan ilmunya ke beberapa murid. Murid-murid Aki Sukria lah yang meneruskan tradisi seni kuda renggong yang bermula di  Desa Cikurubuk, Kecamatan Buahdua, Sumedang ini. Tradisi kuda renggong terus menjadi tren dan mulai masuk ke hampir setiap kecamatan di Sumedang. Saat ini. menurut Supriatna, kuda renggong bahkan menyebar sampai ke kabupaten Bandung seperti Majalaya dan Soreang. Di kabupaten Sumedang paling tidak terdapat 400 ekor kuda renggong. Di tengah hiburan a la Barat yang terus menerpa masyarakat tanah air, kuda renggong bertahan berkat eksistensi murid Aki Sukria yang rata-rata berumur 70-80 tahun. “Murid Aki Sukria yang masih berada di sini bisa dihitung dengan jari. Diantaranya, kita beruntung sanggar Motekar dan Jatinangor masih memiliki Aki Ali,” ujar Supriatna. Pria yang baru saja menerima penghargaan sebagai  Tokoh Seni Budaya dari Pemerintah Kabupaten Sumedang, pada 17 Agustus lalu ini meneruskan, kuda renggong kebanyakan digelar pada hajatan khitanan. Di beberapa kecamatan yang ‘fanatik’ dengan kuda renggong, para pengantin juga diarak dengan kuda renggong. “Beberapa kecamatan yang ‘kuda renggong minded’ itu antara lain Conggeang, Buahdua dan Tanjungkerta. Orang di sana sangat apresiatif kalau ada arak-arakan kuda renggong. Penonton sepanjang rute pasti memperhatikan sambil memilih-milih, kelak kalau anak-cucunya disunat naik kuda mana yang paling bagus,” tuturnya. Ketika menunggangi kuda renggong, anak yang dikhitan biasanya juga memakai kostum. Di iringi dengan payung, mereka diarak keliling rute yang telah ditentukan si empunya hajat. “Untuk kostum anak tidak ada ketentuan, demikian juga dengan musik yang digunakan, semua disesuaikan dengan perkembangan zaman. Saat ini musik pengiring kuda renggong ada yang pakai rebana dan kendang. Sebenarnya yang diharapkan musik tiup, tapi mungkin karena peniup klarinet itu pegel bibirnya, kadang-kadang diganti dengan gitar melodi yang tidak Sunda sama sekali,” jelasnya. Berbeda dengan kostum dan musik pengiring, berbagai macam tradisi tetap dipenuhi ketika ingin menggelar kesenian kuda renggong. Di kecamatan Buahdua, misalnya,  ketika anak yang dikhitan diarak keliling kampung, trayeknya diusahakan melintasi makam para leluhur anak itu. Apabila tidak, leluhur ditakutkan akan ‘marah’ kepada penggelar kenduri. Untuk menjalani serangkaian tradisi ini, seniman yang bergelut dalam kesenian kuda renggong adalah mereka yang memiliki rasa cinta yang dalam, mulai dari musisi pengiring  sampai pada petugas penuntun kuda. “Mereka bahkan ikhlas menutup toko mebel mereka satu hari untuk honor sebesar Rp 20.000, itu kan secara finansial tidak menguntungkan. Mereka betul-betul orang yang cinta seni. Dengan tradisi seperti itu lah kuda renggong tetap berkembang, sehingga seniman dan orang akademis yang hendak menyantuni kuda renggong harus hati-hati terhadap adat kebiasaan mereka,” ujar pria asli orang Sumedang yang mulai mengabdi sebagai guru di Jatinangor pada tahun 1974. Supriatna menjelaskan, kuda renggong memang dihidupkan dengan cara-cara yang sangat tradisional. Tidak ada satu pun pemiliki kuda renggong yang mengelolah tradisi ini dengan manajemen  modern. Tarif sewa kuda renggong dan biaya pemusiknya pun sangat relatif. “Beberapa puluh tahun yang lalu bahkan permasalahan harga ini tabu untuk dibahas. Mereka berdalih ‘jangan bicarakan masalah harga, kita kan seniman’. Berapa pun dikasih sama si empunya hajat diterima,” tuturnya. Hindari intervensi manajemen modern Sejak April 2011, Sanggar Motekar yang dimiliki dan dikelola oleh Supriatna memiliki kuda renggong sendiri. Sanggar yang merupakan tempat pembinaan cabang seni karawitan, tari, pencak silat, drama, dan sastra ini sebenarnya dari dulu sudah mencantumkan kuda renggong sebagai salah satu cabang seni yang dikelola. Namun, karena harga kuda yang mahal, baru tahun ini Motekar memiliki kuda sendiri, hasil hibah dari kawan Supriatna. “Karena sudah punya kudanya, kita dirikan kandanganya. Kuda renggong diurus sama Aki Ali, dilatih sama Aki Ali. Mulailah kawan-kawan Aki Ali berdatangan, sekarang Sanggar Motekar mulai banyak kawannya, komunitas kuda (tertawa),” tutur Supriatna. Saat ini, Sanggar Motekar memiliki dua ekor kuda renggong, Gending dan Gilang. Untuk terus melestarikan kesenian kuda renggong, Sanggar Motekar sepakat untuk tidak mengintervensi adat kebiasaan tertentu, sebab degan tata cara seperti itu lah kuda renggong bisa hidup dan bertahan sampai seabad lebih. “Umpamanya ada orang yang ingin kudanya bisa menari dan dititipkan ke Aki Ali, itu kita tidak pasang tarif, biar Aki Ali saja yang memutuskan. Kadang-kadang bahkan dibayar pakai beras,” jelasnya. “Betapa pun tidak sesuainya dengan ilmu manajemen modern, ada kenyataan kuda renggong yang diselenggarakan dengan cara seperti itu bisa terus hidup, dengan jumlah yang bertambah banyak.. Ini membuat kita hati-hati, jangan-jangan pemikiran untuk mengelola secara modern itu justru akan merusak,” lanjutnya. Supriatna dan sanggarnya yang berdiri resmi pada 2002 ini berharap kelak semua seksi di Sanggar Motekar ada ahli warisnya. “ Semoga semua cabang kesenian ada generasi muda penerusnya, agar tetap lestari. Pelestarian tanpa pewarisan itu omong kosong,” ujarnya dengan nada penuh antusias.(fsi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Newswire
Editor : Newswire

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper