Tekanan eksternal sebagai dampak globalisasi ekonomi disikapi pemerintah dengan melakukan beberapa kebijikan antisipatif. Dipicu oleh semakin melebarnya defisit neraca perdagangan Indonesia sepanjang periode Januari-Juli 2018. Defisit mencapai US$3,09 miliar dan pelemahan kurs Rupiah terhadap USD hingga nyaris menyentuh Rp 15.000.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data nilai impor kumulatif Januari–Juli 2018 mencapai US$107.324,6 juta. Tumbuh 24,48% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan impor nonmigas terbesar Juli 2018 dibanding Juni 2018 adalah golongan mesin dan pesawat mekanik. Impor komoditas ini mencapai US$1.096,3 juta dengan kenaikan 71,95%.
Langkah reaktif pemerintah melalui kebijakan impor dilakukan untuk menghindari defisit perdagangan semakin melebar. Kebijakan ini juga untuk melindungi industri domestik, dan mendorong pertumbuhan penjualan produk.
Kementerian Keuangan telah menaikkan tarif impor untuk 1.147 barang konsumsi hingga 10% dalam format revisi tarif Pajak Penghasilan (PPh) 22. Barang konsumsi dengan kategori mewah dan barang konsumsi yang masih dapat disubstitusi dengan produk domestik memiliki besaran tarif 10 persen. Tarif asalnya masing-masing sebesar 7,5% dan 2,5%.
Sebagai catatan, selama Januari–Juli 2018 nilai impor barang konsumsi telah mencapai US$2.107,1 juta dengan kenaikan 27,03% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sasaran kenaikan tarif impor terutama barang konsumsi, karena untuk jenis barang modal dan bahan baku masih diperlukan pengkajian lebih lanjut oleh Kementrian Perindustrian. Adapun peningkatan tarif impor hingga mencapai empat kali lipat merupakan tekad pemerintah untuk memperbesar peranan produksi domestik.
Esensinya adalah dampak penerapan kebijakan impor berupa proteksi ini tidak menjadi bumerang bagi perekonomian nasional. Skema peningkatan tarif impor ini diupayakan untuk tidak berbenturan dengan regulasi perdagangan internasional baik perjanjian bilateral maupun multilateral.
Bagaimanapun jika pembatasan impor ini berbentuk restriksi tentunya akan memunculkan reaksi keras dari beberapa negara dengan target market Indonesia. Parahnya jika reaksi keberatan ini berlanjut ke sengketa dagang dan gugatan ke WTO selaku regulator transaksi perdagangan internasional.
Kita ingat berlarut-larutnya sengketa dagang antara Amerika Serikat dan Selandia Baru versus Indonesia sangat menguras tenaga dan pikiran. Gugatan sengketa pada akhirnya dimenangkan oleh kedua negara tersebut atas penerapan restriksi impor produk daging dan hortikultura yang diberlakukan Indonesia sejak 2011. Berlanjut dengan tindakan penolakan atas banding yang diajukan pemerintah Indonesia oleh Badan Penyelesaian Sengketa WTO.
Tidak berakhir sampai di situ, Amerika Serikat meminta WTO memberikan sanksi denda US$ 350 terhadap Indonesia sebagai kompensasi akibat kerugian penerapan restriksi perdagangan. Indonesia dianggap gagal menyesuaikan kebijakan sesuai keputusan banding, meski sesungguhnya Indonesia telah berupaya merevisi kebijakan impornya.
Sebetulnya substansi kesepakatan dalam WTO berupa aturan transaksi barang, jasa, dan kekayaaan intelektual yang mengandung prinsip-prinsip utama liberalisasi. Secara garis besar regulasi krusial WTO adalah tidak ada diskriminasi terhadap semua mitra dagang; perlakuan yang sama terhadap barang impor yang telah memasuki pasar domestik dan lokal serta transparansi kebijakan perdagangan.
Apabila dikaji lebih jauh, beberapa negara termasuk Amerika Serikat melakukan upaya restriksi impor dan memperkuat produksi dalam negeri guna mengurangi defisit perdagangannya. Kebijakan impor Amerika Serikat dengan mengenakan tarif impor produk baja dan aluminium dari China memicu perang dagang dengan China. China bereaksi dengan menetapkan tarif baru terhadap impor 128 produk dari Amerika Serikat dengan nilai US$3 miliar. Sesuai regulasi WTO sangat jelas terdapat pelanggaran dari kedua belah pihak dengan melakukan diskriminasi terhadap mitra dagang. Tantangan bagi integritas WTO untuk menyelesaikan sengketa dua negara raksasa ekonomi ini karena perang dagang ini pada akhirnya berimbas pada ekonomi global.
Sejatinya regulasi dan kebijakan perdagangan yang dikeluarkan tidak bersinggungan dengan ranah regulasi WTO untuk menghindari potensi sengketa. Tentunya kita tidak ingin menghabiskan sumberdaya negara dalam upaya merespon gugatan negara lain.
Tidak kalah pentingnya adalah sinergitas antar kementerian dan lembaga terkait kebijakan perdagangan internasional ini memiliki level urgensi tinggi. Kebijakan impor berupa proteksi misalnya ditindaklanjuti oleh Kementerian Perindustrian dengan membuat frame kebijakan skema substitusi impor dengan barang produksi domestik. Di lain pihak, upaya penundaan pembelian komoditas dengan nilai impor tinggi juga dapat dilakukan atas pengkajian dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian BUMN.
Penulis ;
Marisa Intan
ASN di Badan Pusat Statistik