Menurutnya Pemerintah Pusat sudah memberikan peluang industri semen untuk bangkit salah satunya dengan penghentian izin impor produk semen. Namun pihaknya berharap situasi akan makin baik ketika pemerintah membatasi pemberian izin pendirian pabrik semen baru. “Kalau izin pabrik baru dikeluarkan terus, sementara over supply kan industri dalam negerinya yang sakit,” tuturnya.
Pihaknya mengaku tak bisa mendesak pemerintah untuk melakukan moratorium pemberian izin, namun menunda untuk beberapa waktu hingga industri semen dalam negeri kembali sehat. Menurutnya industri semen harus diberikan waktu untuk bangkit mengingat investasi yang digelontorkan sangat tinggi. “Kalau [tidak ditahan izin] kasihan teman-teman, investasi semen itu mahal, 150 US$-200 US$ per ton,”ujarnya.
Kondisi berat yang dihadapi industri semen menurutnya juga terjadi karena bahan baku batu bara yang memakan ongkos produksi hingga 40%. Padahal sejak dua tahun terakhir harga batu bara terus mengalami kenaikan membuat pihaknya harus sekuat mungkin bertahan. “Harapan kami pemerintah, menyehatkan kembali industri semen yang lagi kesulitan ini,” paparnya.
Dengan investasi satu pabrik hingga 2 juta US$ pihaknya menilai upaya industri semen dalam negeri meraih keuntungan sangat berat. Selain batu bara yang harganya tinggi, kondisi diperparah lagi dengan naiknya harga bahan bakar. “Investasi sangat mahal, Indocement sendiri produksinya bisa sampai 1,6 juta ton per bulan,” tuturnya.
Sementara terkait rencana perubahan ketentuan alokasi batu bara untuk keperluan domestik (domestic market obligation/DMO) yang didengungkan Menko Maritim Luhut B Pandjaitan, Cristian mengaku sudah sesuai harapan karena harga semen diserahkan kepada pasar. “Kita inginnya begitu, semua diserahkan pada pasar termasuk harga semen, ” katanya.